Entri Populer
-
di kamar ini aku dilahirkan di bale bambu buah tangan bapakku di rumah ini aku dibesarkan dibelai mesra lentik jari ibuku ...
-
Disclaimer: Belajar sosiologi untuk kelas XI IPS materi konflik sosial. Sulitnya melawan virus corona pernah dibahas pada postingan seb...
-
Artikel #1 untuk tugas A1 Perubahan sosial dari segi waktu berjalan lambat (evolusi) dan juga dapat berjalan dengan cepat (revolusi). Dili...
Sabtu, 23 Mei 2015
CINTA DALAM BINGKAI SOSIOLOGI
Kamis, 06 Maret 2014
Anggota Kontestasi Dari Negara Kontestasi
Sabtu, 27 Juni 2009
Relevansi penjelasan Weber tentang birokrasi dalam perkembangan birokrasi saat ini?
- Otoritas Tradisional
Dalam masyarakat Indonesia otoritas tradisional ini masih banyak ditemui di daerah-daerah terutama bagi masyarakat yang jauh dari perkotaan. Tipe otoritas ini berlandaskan “pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kekudusan tradisi-tradisi zaman dulu serta legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimilikinya. Jadi alasan mengapa orang tersebut taat pada struktur otoritas ini karena mereka mengikuti dari nenek moyangnya dan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakatnya. Hubungan antara tokoh yang memiliki otoritas dan bawahanya pada dasarnya merupakan hubungan pribadi. Sebenarnya kunci untuk memahami dinamika sistem otoritas tradisional, adalah melihatnya sebagai suatu perpanjangan dari hubungan keluarga. Mereka yang patuh memiliki rasa setia pribadi kepada pemimpinnya yang sebaliknya mempunyai kewajiban tertentu untuk memperhatikan mereka. Walaupun pimpinan dan bawahanya terikat oleh peraturan-peraturan tradisional, masih ada keleluasan bagi atasannya secara pribadi dalam menggunakan otoritasnya dan dalam keadaan seperti itu bawahan terpaksa taat.
Dalam otoritas ini kita dapat menemuinya di Indonesia pada Suku Dani. Masyarakat Dani memiliki kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong. Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku. Organisasi kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga dan keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial.[2] Dalam setiap pendirian rumahnya masyarakat Dani mempercayai perkataan dari kepal sukunya dan di anggapnya adalah utusan dewa.
- Otoritas Kharismatik
Di negara Indonesia pernah dipimpin oleh seseorang yang berjiwa kharismatik yang dapat menyihir orang lain untuk patuh dan taat kepadanya. Sebut saja K.H. Abdurahman Wahid atau akrab disebut Gusdur, yang pernah menjadi Presiden RI ke-4. Masyarakat mempercayai dari setiap kata-katanya dan sebagai sosok yang dapat merubah kehidupan bangsa. Otoritas ini didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin sebagai seorang pribadi. Otoritas seperti ini lain daripada bentuk otoritas biasa. Istilah “kharisma” digunakan dalam pengertian yang luas untuk menunjuk pada daya tarik pribadi yang ada pada orang sebagai pemimpin. Weber juga menghubungkan orang yang berjiwa kharismatik memiliki hubungan khusus kepada sang ilahi sehingga banyak para pengikutnya yang mempercayai perkataannya. Berbeda dengan otoritas tradisional yang di orientasikan kepada hal-hal yang rutin, stabil dan langgeng. Otoritas kharismatik cenderung dinamis dan mudah berubah-ubah. Jika mengadakan gerakan-gerakan yang dipimpin oleh kharismatik dan ketika pemimpinnya itu meninggal maka semangat dan otoritasnya pun menjadi bercabang.
- Otoritas Legal-Rasional
Otoritas ini didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal disebut Weber dengan istilah otoritas legal-rasional. Tipe ini sangat erat dengan otoritas rasionalitas instrumental yang dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan dengan memilih sesuai pilihan. Namun otoritas ini berbeda dengan otoritas tradisional dan otoritas kharismatik. Otoritas ini dimana pemimpinnya memiliki suatu posisi sosial yang menurut peraturan yang berhak, dia didefinisikan sebagai orang yang memiliki posisi otoritas. Seleksi terhadap orang-orang untuk menduduki posisi otoritas ini atau posisi bawahan juga diatur secara eksplisit oleh peraturan yang resmi dan sah.[3]
Otoritas ini dipakai pada sistem pemilihan presiden di Indonesia pada Pemilu 8 juli 2009 dengan melalui tahapan-tahapan khusus untuk menjadi presiden. Adapun persyaratan yang harus dijalani adalah tes kesehatan. Dan harus memenuhi kriteria khusus untuk menduduki kursi nomer satu di Indonesia.
1. Doyle Paul Johnson di indonesiakan oleh Robert M.Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1994) hal. 227
2. Di lihat dari http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dani (di akses pada tanggal 13 Juni 2009)
Relevansi semangat etika protestan dalam masyarakat saat ini
Di masa sekarang khususnya di masyarakat Indonesia tingkat pengangguran mencapai 9, 39 juta. Sementara jumlah penduduk yang bekerja mencapai 102,55 juta orang. Pekerja yang pendidikannya hanya dari SD ke bawah sudah mengalami penurunan sebanyak 1,04 juta dalam setahun terakhir, tetapi jumlahnya masih tetap mendominasi. Namun pengangguran yang dari pendidikan SLTA lebih banyak ketimbang dari pendidikan SD ke bawah. Kebanyakan yang dari pendidikan SD ke bawah bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tukang kayu, tukang batu, dan Cleaning Service.[2]
Dari data diatas memperlihatkan bahwa Geist atau etos (semangat) sudah nampak dari masyarakat Indonesia. Seperti yang dikatakan oleh Geertz adalah sikap mendasar terhadap diri dan dunia yang dipancarkan hidup. Etos adalah aspek kualitatif yang bersifat menilai. Maka dalam hal ini bisa dinyatakan, apakah kerja dalam hal yang lebih khusus, usaha komersial, dianggap sebagai suatu keharusan demi hidup, atau sesuatu yang imperative dari diri, ataukah sesuatu yang terikat pada identitas diri yang telah diberikan oleh agama.[3] Rasa ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap agama dinilai menjadi faktor penyemangat untuk melakukan usaha demi tercapainya kelangsungan hidup. Masyarakat Indonesia menilai bahwa ajaran Calvin tentang takdir dan nasib itu menurut Weber adalah merupakan kunci utama dalam hal menentukan sikap hidup dari para penganutnya. Takdir kepada manusia telah ditentukan oleh Tuhan jauh sebelumnya. Apakah manusia itu terpilih atau terkutuk. Calvin menyerukan untuk melakukan kerja keras guna menghindarkan kutukan dari Tuhannya. Dengan cara hidup yang sesuai dengan kehendak Tuhan ialah “memenuhi kewajiban yang ditimpakan kepada individual oleh kedudukannya di dunia”. Ini yang oleh Calvin disebut Beruf atau Calling. Beruf atau panggilan adalah konsepsi agama, tentang tugas yang ditentukan oleh tuhan. Dalam islam ikhtiar lahiriyah dan batiniyah adalah perlu, makanya masyaraka Indonesia yang mayoritas beragama muslim melakukan ikhtiar lahiriyah guna mencapai kelangsungan hidupnya. Baik itu bekerja sebagai pembantu rumah tangga, tukang kayu atau Cleaning Service, hal itu diyakini akan mendapatkan rizki dari sang ilahi jika kita mau bekerja keras.
Disisi lain terlihat akan sifat bermalas-malasan dan hidup berfoya-foya dari masyarakat Indonesia, kebanyakan mereka adalah dari kaum muda yang seharusnya menjadi penopang keluarga dan bangsa malahan kehidupan mereka di buang tanpa makna. Kita teringat akan nasihat Benjamin Franklin “nasihat kepada saudagar muda”.
Ingatlah waktu adalah uang. Orang menghasilkan Rp.100.000 sehari dari kerjanya, dan pergi jalan-jalan atau duduk bermalasan setengah hari walaupun dia hanya membelanjakan Rp.50.000 selama berjalan-jalan atau bermalas-malasan tidak boleh memperhitungkan hanya itulah pengeluaranya, sebenarnya dia menghabiskan atau lebih tepat membuang-buang Rp.50.000 lagi dari sisa uangnya.
Ingatlah keredit adalah uang. Jika seseorang membiarkan uangnya tetap berada di tangan kita pada saat harus dikembalikan, maka dia kehilangan bunga yang seharusnya didapat dari kita atau sejumlah uang yang dapat kita hasilkan selama itu. Ini bisa mencapai suatu jumlah besar kalau seseorang mendapatkan kredit bagus dan besar dan memanfaatkannya dengan baik.
Ingatlah, bahwa uang itu bersifat berkembang dengan pesat. Uang beranak dan anak-anaknya menghasilkan anak, dan seterusnya. Jika kita menggunakan Rp.100.000 untuk digunakan dagang maka kita akan menghasilkan anak alias keuntungan uang dari hasil dagang tersebut. Dan dari hasil tersebut dapa dipergunakan untuk melakukan perdagangan lagi yang lebih besar. Maka dengan begitulah uang yang kita pegang dapat beranak dan berkembang lebih banyak lagi.[4]
Pernah suatu hari penulis bertemu dengan salah satu orang Tiong Hoa yang memiliki toko di beberapa tempat dan terbilang orang Tiong Hoa itu selalu sukses dalam usahanya. Bilang saja Si Ahong, dia menjelaskan akan cara dagang dia, ketika dia menghasilkan seratus ribu dari hasil dagangnya maka penghasilan tersebut di bagi menjadi tiga. Pertama untuk modal berikutnya, kedua untuk membeli kebutuhan atau peralatan dagang yang belum ada di tokonya dan yang ketiga untuk makan. Si Ahong juga menjelaskan, jika ada pembeli dari kelurga dekatnya sendiri janganlah di kasih gratis karena akan membuat kerancuan dalam buku keuangan dagangnya. Namun oleh masyarakat kita hal ini belum bisa dilakukan karena pada umumnya kebudayaan di Indonesia lebih mengarah ke kekeluargaan masih tradisional, dan jika ada keluarga yang mau membeli dagangan maka oleh orang Indonesia di kasih gratis. Seperti yang dijelaskan Weber protestanisme merupakan satu dobrakan utama terhadap tradisi. Sama juga halnya, dengan munculnya kapitalisme membutuhkan suatu keadaan dimana sejumlah tekanan tradisional terhadap kegiatan ekonomi itu hilang. Namun yang ditekankan Weber adalah bahwa ide-ide tertentu dalam protestanisme memperlihatkan suatu perubahan dari tradisionalisme ke suatu oientasi yang lebih rasional.[5] Menurut Ahong, kita boleh jadi keluarga tapi kalau dalam masalah ekonomi harus ada perbedaan antara pembeli dan penjual. Cara yang dijelaskan Ahong kepada penulis merupakan sebagai wujud dari semangat kapitalisme untuk lebih mementingkan ekonomi ketimbang urusan lainya.
____________________________
1. Doyle Paul Johnson di indonesiakan oleh Robert M.Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1994) hal. 238
2. Di lihat dari http://www.detikfinance.com/read/2009/01/05/152509/1063304/4/angka-pengangguran-capai-939-juta-orang (di akses pada 13 Juni 2009)
3. Taufik Abdullah (Editor), Agama, Etos Kerja da Perkembangan Ekonomi, (Jakarta: Buku Obor, 1978) hal. 3