Entri Populer
-
di kamar ini aku dilahirkan di bale bambu buah tangan bapakku di rumah ini aku dibesarkan dibelai mesra lentik jari ibuku ...
-
Disclaimer: Belajar sosiologi untuk kelas XI IPS materi konflik sosial. Sulitnya melawan virus corona pernah dibahas pada postingan seb...
-
Artikel #1 untuk tugas A1 Perubahan sosial dari segi waktu berjalan lambat (evolusi) dan juga dapat berjalan dengan cepat (revolusi). Dili...
Jumat, 26 September 2014
TERLAHIRLAH NEO-ORDE BARU: Kajian Sosiologis akan Keputusan Pemilukada oleh DPRD
Oleh: N.H. Eddart
Selama sepuluh tahun ini Indonesia telah dipuji-puji oleh negara tetangga yang telah berhasil menciptakan demokrasi yang adil dan langsung dipilih oleh rakyat. Sepuluh tahun yang lalu melalui suara-suara mahasiswa telah berhasil meruntuhkan tembok kediktatoran orde baru. Akankah aktor-aktor perubahan era 1998 yang telah menyuarakan hati rakyat harus kembali ke masa lalu? Bagaimana nasib rakyat jika perubahan yang telah berganti kini terlahir kembali dan berjaya menguasai tanah air?. Dalam coretan ini akan mengajak pembaca untuk memahami kenapa perubahan tersebut kembali berputar.
Perubahan akan selalu ada dalam masyarakat dan setiap perubahan akan disertai dengan disintegrasi antargolongan kepentingan yang ingin mewujudkan dominasi politik di tanah air. Lantas perubahan bisakah dikatakan sesuai dengan harapan masyarakat manakala telah diamini oleh golongan kepentingan politik. Sistem pemilihan kepala daerah telah disahkan oleh "Dewan Legislatif - DPR RI" untuk dipilih oleh DPRD, koalisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) telah memenangkan suaranya terhadap RUU Pemilukada yang dipilih oleh DPRD. Kemenangan KMP mengingatkan sistem pemerintahan yang telah runtuh sepuluh tahun silam. Sepuluh tahun silam Indonesia memilih pemimpin berdasarkan dominasi minoritas dari partai politik yang duduk di kursi legislatif dan pemimpin yang terpilih seperti "wayang golek" yang digerakkan oleh "si dalang" di kursi legislatif.
Terlahirnya kembali sistem orde baru ini akibat dari kekalahan dari demokratisasi presiden bulan Juli 2014. Koalisi yang unggul di legislatif ingin membangunkan kembali kejayaan orde baru di Indonesia padahal yang sebelumnya telah diruntuhkan oleh aktor-aktor perubahan. Menurut Oswald Spengler perubahan terjadi secara siklikal dari lahir menjadi tumbuh berjaya yang kemudian runtuh dan akan terlahir kembali. Sistem pemilihan kepala daerah yang telah terlahir di era orde baru dan menjadi kejayaan untuk mendominasi politik dan menguras kekayaan Indonesia demi kepentingan yang mengesampingkan rakyat, rakyat akhirnya menangis atas kesalahan sistem ini, tanpa harapan balas budi dari rakyat yang telah menderita puluhan tahun, sistem pemilihan ini dapat diruntuhkan oleh perjuangan-perjuangan mahasiswa dan intelektual
muda yang ingin menciptakan demokratis.
Aktor yang melahirkan neo-orde baru perlu dijadikan suprastrukur agar aktor-aktor mengikuti aturan yang telah ditetapkan, kemudian akan menjadi struktur yang dipatuhi oleh agen-agen politik untuk memanfaatkan kepentingan kekuasaan tanah air ini. Agen yang melakukan tindakan secara terus menerus, berulang-ulang dan berkelanjutan yang dilakukan oleh individu masyarakat akan menciptakan strukturasi yang harus dipatuhi oleh setiap individu masyarakat. Dengan begitu, Teori Strukturasi Anthony Giddens membuktikan akan sistem pemilukada oleh DPRD akan mengulang dimana era orde baru menjadi sistem yang berjaya untuk Indonesia. Agen (dalam hal ini aktor politik) akan menciptakan struktur dan struktur akan mengatur agen-agen (termasuk semua lapisan masyarakat) untuk mematuhinya. Sistem pemilukada oleh DPRD yang telah dipatuhi oleh agen-agen akan sulit diruntuhkan lagi dalam jarak waktu yang singkat, aktor perubahan akan berjuang kembali mengusap tangis masyarakat, dan disintegrasi akan kembali terjadi di Indonesia dengan kasus penjarahan, kekerasan, pembunuhan, dan pelecahan seksual.
Untuk itu, marilah merenung kembali atas keputusan dari aktor-aktor perubahan. sistem ini akan berjaya manakala telah disepakati oleh semua lapisan dan hanya tinggal diam tanpa perjuangan. Warga yang tidak memiliki kekuasaan politik akan dipaksa mengikuti sistem ini, sedangkan warga yang memiliki kekuasaan politik menjadi dualitas karena mengerti penderitaan tetangganya bahkan anak-anaknya kelak, namun dalam posisi politik mengerti juga kedudukan sebagi elit politik yang mengharuskan sistem pemilu kepala daerah oleh DPRD terwujud.
Kamis, 06 Januari 2011
Analisis Korupsi Di Indonesia Dengan Teori Strukturasi
Pengantar
Korupsi menyebar merata di wilayah negara ini, dari Aceh hingga Papua. Kasus korupsi yang muncul tak hanya menjerat sejumlah penyelenggara negara, tetapi juga menghambat penyejahteraan rakyat.[1] Hampir setiap media
Tulisan ini menjelaskan kasus korupsi disertai analisis dari Anthony Giddens, tentang strukturasi (structuration). Mengenai kasus korupsi yang terjadi di
Dengan analisis Giddens diharapkan tulisan ini memberikan informasi penting untuk pengamatan korupsi. Pelaku dan struktur yang dijelaskan Giddens menjadikan teori utama tulisan ini. Panser Raksasa ”Juggernout” merupakan istilah yang digunakan Giddens dalam pemikirannya. Dalam hal ini diartikan sebagai suatu perilaku yang terjadi di negara ini. Mulanya disebabkan oleh kapitalisme dan matrealisme yang mendorong pelaku dan struktur untuk melakukan korupsi. Teori-teori Giddens dalam tulisan ini akan dikaitkan dengan kasus-kasus yang marak terjadi. Begitu juga kasus yang terjerat oleh daftar Komosi Pemberantasan Korupsi (KPK), beberapa kasus yang di tangani KPK akan melengkapi data korupsi di Indonesia. Meski tidak semua disajikan akan tetapi tulisan ini berusa mengulas lebih dalam tentang struktursi dalam korupsi.
Pengertian Korupsi
Korupsi berasal dari kata Latin Corruptio atau Corruptus. Kemudian, muncul dalam bahasa Inggris dan Perancis Corruption, dalam bahasa Belanda Korruptie, selanjutnya dalam bahasa Indonesia dengan sebutan korupsi.[2] Esensi korupsi sebagai pencurian melalui penipuan dalam situasi yang mengkhianati kepercayaan. Korupsi merupakan perwujudan immoral dari golongan untuk memperoleh sesuatu dengan metode pencurian dan penipuan. Titik penting yang ingin dimasukkan dalam kebanyakan peristilahan korupsi, yaitu nepotisme dan korupsi otogentik.[3] Sementara, Bank Dunia membatasi pengertian korupsi hanya pada, “pemenfaatan kekuasaan untuk mendapat keuntungan pribadi.” Ini merupakan definisi yang sangat luas dan mencakup tiga unsur korupsi yang digambarkan dalam akronim KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme).[4]
Hafidhuddin mencoba memberikan gambaran korupsi dalam perpektif ajaran Islam. Ia menyatakan, bahwa dalam Islam korupsi termasuk perbuatan fasad[5] atau perbuatan yang merusak tatanan kehidupan. Pelakunya dikategorikan melakukan jinayah kubro (dosa besar) dan harus dikenai sanksi dibunuh, disalib atau dipotong tangan dan kakinya dengan cara menyilang (tangan kanan dengan kaki kiri atau tangan kiri dengan kaki kanan) atau diusir. Dalam konteks ajaran Islam yang lebih luas, korupsi merupakan tindakan yang bertentangan dengan prinsip keadilan (al-‘adalah), akuntabilitas (al-amanah), dan tanggungjawab. Korupsi dengan segala dampak negatifnya yang menimbulkan berbagai distorsi terhadap kehidupan negara dan masyarakat dapat dikategorikan termasuk perbuatan fasad, kerusakan di muka bumi, yang sekali-kali amat dikutuk Allah SWT.[6]
Berdasarkan wacana diatas korupsi berarti lembaga ekstra-legal yang digunakan individu-individu atau kelompok-kelompok untuk mendapat pengaruh terhadap kebijakan dan tindakan birokrasi. Karena itu, eksistensi korupsi jelas mengindikasikan, hanya individu dan kelompok yang terlibat dalam proses pembuatan keputusan yang lebih mungkin melakukan korupsi daripada pihak-pihak lain. Korupsi juga berarti penyalahgunaan kekuasaan oleh seorang pegawai atau pejabat pemerintahan untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari publik.[7]
Wacana Korupsi di Indonesia
Istilah korupsi hadir pertama kali dalam khasanah hukum Indonesia dalam peraturan Penguasa Perang Nomor Prt/Perpu/031/1958 tentang peraturan pemberantasan korupsi. Kemudian, dimasukkan juga dalam undang-undang Nomor 24/Prp/1960 tentang Pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Undang-undang ini kemudian dicabut dan digantikan oleh undang-undang Nomer 3 Tahun 1971 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian sejak tanggal 16 Agustus 1999 digantikan oleh Undang-undang No 31 Tahun 1999 dan akan mulai berlaku efektif paling lambat 2 tahun kemudian (16 Agustus 2001) dan kemudian diubah dengan Undang-undang No 20 Tahun 2001 tanggal 21 November 2001.[8]
Pada saat gerakan reformasi dikumandangkan di Indonesia, tepatnya pada tanggal 21 Juni 1998, sebuah organisasi non pemerintahan (ornop) dibentuk oleh orang-orang seperti Adi Adjono Sutjipto, Cristianto Wibisono, Eros Drajot, Daniel Dhakidae, Masdar F. Mas’udi, Munir (alm), Teten Masduki, T. Mulya Lubis, dan lainnya juga terkenal kental berjuang dengan integrasi dan komitmen yang tinggi akan pemerintahan yang demokratis, transparan, dan bersih dari KKN. Ornop ini yang kemudian cukup terkenal dengan komitmen memberantas korupsi dengan nama Indonesian Corruption Watch (ICW). Agen struktur, biasanya adalah aktor tingkat mikro, kehidupan kolektif seperti (buruh, petani) pun dapat menjadi agen.[9] ICW mengklaim bahwa pemerintahan di bawah tangan Soeharto sebagai pemimpinannya, keluarga, sahabat serta kroni-kroninya mewarisi segudang masalah korupsi yang gawat. Korupsi tidak saja mendominasi wolayah eksekutif dan yudikatif, tetapi juga lembaga legislatif hampir pada semua tingkatannya. Realitas ini diterima sebagai bagian dari kebudayaan yang menyimpang. Kehidupan ekonomi yang nyaris melumpuhkan kehidupan masyarakat Indonesia pada tahun 1997, banyak yang menuding dipicu atau diperburuk oleh masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).
Aktor utama korupsi adalah pemerintah dan sektor swasta, dan rakyat banyak menjadi korbannya yang utama. Untuk itu kenapa ICW lalu amat mempercayai bahwa gerakan anti korupsi harus bertumpu pada pemberdayaan rakyat untuk mengimbangi kolaborasi pemerintahan dan sektor swasta. Hal ini diwujudkan ICW adalah satu diantara sekian banyak lembaga independen yang berdiri memasang jarak, memperhatikan dari kejauhan kinerja pemerintahan atau secara langsung memberikan advokasi dan pengajaran politik kepada masyarakat. Namun, tak dapat dipungkiri bahwa lembaga atau organisasi seperti ini baru merebak usai orde baru di bawah Soeharto dan gelombang reformasi mulai didengungkan pada akhir tahun 1998 kemarin. Dalam masa-masa awal kekuasaan Orde Baru, lembaga yang berkiblat pada masyarakat akan dituduh komunis, organisasi pers terlampau kritis akan dibredel bahkan elit pemerintah yang kurang simpati pada kebijakan yang ditelorkan pemerintahan akan menuai bencana pemecatan atau ditahan.[10]
Teori strukturasi (structuration) Anthony Giddens (1984) kunci pendekatan Giddens adalah melihat agen dan struktur sebagai dualitas, artinya keduanya dapat dipisahkan satu sama lain. Agen terlibat dalam struktur dan struktur melibatkan agen. Giddens menolak untuk melihat struktur semata sebagai pemaksa terhadap agen, tetapi melihat struktur baik sebagai pemaksa maupun penyedia peluang.[11]
Untuk memenuhi kebutuhan barang-barang ekonomi dan konsumtif ternyata banyak yang tidak dapat bersabar dan tabah, sehingga dalam kondisi terjepit karena didesak istri atau keluarga, memaksanya untuk menyelewengkan dalam tugas yaitu mengambil uang negara dengan cara tidak halal. Adapun faktor penyebab antara lain sebagai berikut:
- ketiadaan atau kelemahan kepemimpinan dalam posisi-posisi kunci yang mempu memberikan ilham dan memengaruhi tingkah laku yang menjinakkan korupsi.
- kelemahan ajaran-ajaran agama dan etika
- akibat kolonialisme atau suatu pengaruh pemerintah asing tidak menggugah kesetiaan dan kepatuhan yang diperlukan untuk membendung korupsi
- kurang dan lemahnya pengaruh pendidikan
- kemiskinan yang bersifat struktural
- sanksi hukum yang lemah
- kurang dan terbatasnya lingkungan yang antikorupsi
- struktur pemerintahan yang lunak
- perubahan radikal, sehingga terganggunya kestabilan mental. Ketika suatu sistem nilai mengalami perubahan radikal, korupsi muncul sebagai suatu penyakit tradisional
- kondisi masyarakat, karena korupsi dalam suatu birokrasi bisa memberikan cermin keadaan masyarakat secara keseluruhan.[12]
Dari kesepuluh poin pemyebab diatas akan di golongkan menjadi tiga faktor.
Pertama, faktor politik. Hal ini disebabkan oleh politik atau yang berkaitan dengan masalah kekuasaan. Di Indonesia dua puluh tahun lalu yaitu 1970 telah dilanda badai korupsi pada berbagai sektor kehidupan masyarakat. Perkembangan korupsi ketika itu nampaknya terpelihara dan secara tertutup dilindungi oleh mereka yang berkuasa. Suatu bentuk dalam sejarah korupsi di Indonesia telah terungkap baru-baru ini, yakni peranan bank-bank dalam meningkatkan korupsi. Periode sebelumnya sangat sulit untuk mendeteksi kegiatan korupsi di bank yang memeng dikendalaikan oleh penguasa bank yaitu para direkturnya. Kini, yang biasa terjadi adalah korupsi para pejabat bank dalam bentuk komisi-komisi. Atau penyuapan untuk setiap pinjaman yang diperoleh dari bank, namun dengan jaminan keamanan yang cukup.
Kedua, faktor yuridis. Yaitu berupa lemahnya sanksi hukuman, hal ini terkait dua aspek. Pertama, yang menyangkut peranan hakim dalam menjatuhkan putusan. Aspek yang kedua, adalah sanksi yang memang lemah berdasarkan bunyi pasal-pasal dan ayat-ayat pada peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi.
Ketiga, faktor budaya. Yaitu berdasarkan peninggalam pandangan feodal, yang sekarang menimbulkan benturan kesetiaan yaitu antara kewajiban-kewajiban terhadap keluarga dan kewajiban terhadap negara. Oleh karena itu, banyak orang terkemuka seperti pejabat dalam masyarakat Indonesia, meskipun berpangkat rendah menganggap biasa melakukan korupsi.[13]
Tindakan Korupsi “Panser Raksasa” Di Indonesia
Anthony Giddens melihat modernitas sebagai “juggernaut” (panser raksasa) yang lepas control.[14] Deretan kasus korupsi di Indonesia sepanjang sejarah sangat panjang. Berapa kasus yang telah ditangani seperti gunung es, yang muncul kepermukaan adalah itu yang diketahui oleh lembaga pemberantas korupsi. Tersangka yang terjerat Pengadilan Tipikor merupakan orang yang tidak bisa berdalih lebih panjang dalam melawan hakim. Berikut adalah kasus korupsi yang diambil dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).[15]
Nama dan Jabatan | Dugaan Kasus | Keterangan |
Ranendra Dangin (mantan Direktur Keuangan PT Rajawali Nusantara Indonesia) | Diduga mengambil sebagian dari total keuntungan PT RNI sebesar Rp.33 miliar ketika perusahaan itu ditunjuk sebagai pengimpor gula putih pada 2001-2004 | Ditetapkan sebagai tersangka (9/10/2008) Mulai diadili (Pengadilan Tipikor 30/3/2009) Tuntutan 4 tahun (Pengadilan Tipikor 1/6/2009 Vonis 3 tahun (pengadilan Tipikor 22/6/2009) |
Bagindo Quiniro (Mantan Ketua Tim auditor Badan Pemeriksa Keuangan Di Depnakertrans) | Diduga telah menerima uang saat mengaudit proyek negara pelatihan dan pemagangan di Depnakertrans pada tahun 2004 | Ditahan (19/2/2009) |
Direktur Utama Kimia PT. Farma Trading, Gunawan Pranoto dan Rifai Yusuf dari PT Rifa Jaya Mulia | Korupsi pengadaan di Departemen Kesehatan tahun 2003 dengan kerugian negara sekitar Rp.71 miliar | Ditetapkan sebagai tersangka (2/3/2009) |
Syahrial Oesman (Mantan Gubernur Sumatra Selatan) | Korupsi alih fungsi hutan lindung Pantai Air Telang di Kabupaten Banyuasin, Sumsel seluas 600 hektar untuk pelabuhan tanjung Api-api | Ditetapkan sebagai tersangka (12/3/2009) Ditahan KPK (11/5/2009) Mulai diadili (Pengadilan Tipikor 3/8/2009) |
Hengky Samuel (rekanan Depdagri Direktur PT Istana Sarana Raya) | Korupsi proyek pengadaan mobil pemadam kebakaran di sejumlah kebupaten/kota | Ditangkap KPK (19/6/2009) |
Umar Syarifudin (Mantan Direktur Umum Bank Pembangunan Daerah Jawa Barat | Korupsi karena memungut biaya setoran modal dan biaya setoran pajak dari 33 cabang Bank Jabar Banten pada 2003-2004 senilai 37 miliar | Ditangkap KPK (31/7/2009) |
Tersangka korupsi kebanyakan adalah orang-orang wakil rakyat, sudah ada delapan anggota parlemen berlatar partai politik berbeda diproses secara hukum oleh KPK karena terlibat kasus korupsi. Belum lagi anggota-anggota DPR yang muncul dalam proses hukum kasus korupsi Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) dengan terpidana Rokhim Dahuri yang kini ditindak lanjuti KPK. Selain itu, kasus aliran dana Bank Ondonesia yang sedang diproses KPK juga membuka deretan nama anggota DPR yang diduga kecipratan dana haram itu. Setidaknya demikian domumen pemeriksaan tersangka Hamka Yamdu disebutkan.[16] Meskipun kian banyak anggota DPR yang tertangkap tangan menerima uang haram, tetapi kondisi ini masih dipandang sebagai puncak gunung es dari korupsi yang sebenarnya terjadi di parlemen. Pasalnya, hampir pada semua kewenangan DPR, baik pada konteks pengawasan, penganggaran, maupun legislasi, semua rawan praktik korupsi.
Akar masalah korupsi di parlemen, pertama, akuntabilitas politik DPR amat rendah. Hampir tidak ada mekanisme yang dapat menjamin akuntabilitas politik itu dijalankan. Saat ini, pertanggungjawaban kerja parlemen hanya sebatas laporan lima tahun yang dibuat satu kali menjelang masa jabatan mereka berakhir. Dari sisi akuntabilitas anggaran, memang ada audit reguler yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), tetapi wilayah anggaran mereka sendiri. Wilayah kerja korupsi parlemen lebih banyak dilakukan pada perdagangan kekuasaan dan wewenang, baik dalam fungsi pengawasan, penganggaran, maupun legislasi.
Kedua, mekanisme perekrutan politik di internal partai politik yang melahirkan anggota DPR berorientasi uang kader yang cukup bagus, memiliki integritas tinggi, tetapi tidak memiliki cukup dana untuk mencalonkan diri sebagai anggota parlemen, kecil kemungkinan mendapat tempat. Sebaiknya, kader-kader yang buruk integritasnya, tetapi memiliki akses luas terhadap uang dan elite partai, akan menjadi calon kuat. Loyalitas antara partai politik dan kadernya diikat oleh uang.
Ketiga, mahalnya ongkos politik, bagi politisi yang kemudian menjadi pejabat publik dan menguasai sumber daya ekonomi, pertama-tama yang dilakukan adalah mengembalikan investasi politik yang telah untuk menjadi pejabat publik, lalu menggunakan sumber daya publik yang disini korupsi menjadi mata rantai yang sulit diputus karena sudah dimulai sejak ranah partai politik.[17]
Pelaku korupsi merupakan suatu struktur yang rasio sebagai hasil dari sedimentasi dari perulangan praktik korupsi yang berjalan dari waktu ke waktu. Tindakan immoral ini yang bisa dilakukan berkali-kali memiliki implikasi pada terbaliknya cara berfikir. Perasaan kesenangan yang dirasakan setelah mengkonsumsi hasil korupsi membawa pelaku sebagai keyakinan bahwa melakukan tindakan korupsi dianggap lebih rasional ketimbang menghindarinya. Semakin banyak tindakan korupsi maka semakin wajar untuk terus melakukannya. Struktur perilaku korup yang telah terbentuk dalam rasio pelaku kemudian dijadikan sebagai praktik sosial. Berdasarkan pada tingkat rasionalitasnya, hal tersebut adalah tindakan yang wajar, normal, dan telah membudaya. Pelaku korup seolah-olah mereka seperti mendapatkan timbal balik jasa, atas kerjanya. Rasionalitas ini pada akhirnya menularkan kepada orang sekitarnya, menimbulkan suatu kesepahaman akan tindakan korupsi tersebut. Terkadang orang yang menjadi korban akan melakukan hal serupa. Sehingga kerja korupsi terlihat secara sistematis, terorganisai, dan saling terkait dengan pihak yang lainnya. Beberapa kasus korupsi yang terorganisasi biasanya melibatkan pihak yang memiliki kekuasaan dan pihak yang menentukan perijinan. Semua pihak menjadikanya sebagai suatu struktur yang dianggap wajar. Struktur terdiri dari aturan dan sumberdaya, pada akhirnya dapat dilihat sebagai suatu ciri atau sifat dari sistem sosial.
Jadi struktur korupsi adalah aturan dan sumber daya yang terdapat pada rasio pelaku sebagai hasil sedimentasi dari perulangan praktik korupsi yang berjalan dari waktu ke waktu. Struktur yang terbentu dari perulangan praktik korupsi ini, selanjutnya akan menjadi sarana praktik korupsi berikutnya. Struktur korupsi ini pada akhirnya dapat dilihat sebagai sifat atau ciri-ciri dari sistem yang korup. Sistem yang korup merupakan pelembagaan dari struktur korupsi, yaitu atutan-aturan dan sumberdaya yang korup.
[1] Sonya Helen Sinombor, dkk, “Pemerintah Dari Aceh Sampai Papua” dalam Kompas, Tri Agung Kristanto dan Irwan Suhanda (editior), Terjerat dalam Jangan Bunuh KPK Perlawanan Terhadap Usaha Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: Kompas, 2009) hlm.3
[2] A. Hamzah, Korupsi Dalam Pengelolaan Proyek Pembangunan (Jakarta: Akademika Pressindo, 1985), hlm. 2-3
[3] Korupsi otengenik dapat didefinisikan sebagai bentuk korupsi atau penyelewengan yang dilakukan oleh seseorang diri. Subjek yang melakukan perkara ini disebut autocorruption.
[4] N. Kusuma dan Fitria Agustina, Gelombang Perlawanan Rakyat; Kasus-kasus Gerakan Sosial di
[5] Pengertian fasad sendiri dapat diterjemahkan sebagai segala perbuatan yang menyebabkan hancurnya kemaslahatan dan kemanfaatan hidup, seperti membuat terror yang menyebabkan orang takut, membunuh, melukai, mengambil atau merampas hak orang lain.
[6] Mansyur Semma, Negara Dan Korupsi; Pemikiran Mochtar Lubis Atas Negara,
[7] Ibid., Mansyur Semma, hlm. 35
[8] Ibid., Mansyur Semma hlm. 80-81
[9] George Ritzer-Douglas J. Goodman, Teori Sosiolgi Modern, (
[10] Mansyur Semma, Op. Cit hlm. 83
[11] George Ritzer-Douglas J. Goodman, OP. Cit, hlm. 101
[12] Ilham gunawan, Postur Korupsi Di Indonesia; Tinjauan Yuridis, Sosiologis, Budaya dan Politis, (Bandung: Penerbit Angkasa, 1990) hlm. 14
[13] Ibid., Ilham gunawan, hlm.
[14] George Ritzer-Douglas J. Goodman, Op. Ci,t Hllm. 104 lihat juga hlm. 552
[15] Kompas, Tri Agung Kristanto dan Irwan Suhanda (editior), Op. Cit, hlm. 295-298
[16] Ilham gunawan, Op. Cit hlm. 14
[17] Kompas, Tri Agung Kristanto dan Irwan Suhanda (editior), Op. cit.41-42