Kita ketahui bahwa pandemi covid-19 di Indonesia semakin meluas dan menjadi masalah sosial, keberadaan virus ini faktanya dapat ditinjau dari mikroskop sosiologi. Ketika terjadi dinamika di masyarakat tentu bisa ditinjau dari teori-teori sosiologi walaupun itu episentrumnya berasal dari disiplin ilmu biologi. Tugas Anda sebagai masyarakat yang ber-sosiologi, harus peka dan kritis menyikapi dinamika ini. Tuliskan analisa Anda, berlandaskan teori-teori sosiologi untuk merespon wabah dari makhluk superkecil ini.
Oleh: Michelle Regina
Pada Januari 2020, seluruh dunia digemparkan dengan keberadaan virus corona dan ditemukan pertama kali di Wuhan, China. Tidak butuh waktu yang lama bagi virus corona untuk menyebar ke seluruh dunia. Hingga akhirnya seluruh dunia mengalami pandemi COVID-19 dan mengakibatkan perekonomian maupun kehidupan sosial menjadi berantakan dan tidak terkendali. Virus corona yang merebak ini menjadi masalah sosial yang amat menyulitkan negara-negara yang terinfeksi.
Dalam hal ini, pandemi COVID-19 dapat dikaitkan dengan teori perubahan sosial, yaitu teori perubahan melingkar. Teori ini mengatakan bahwa perubahan sosial pada masyarakat adalah sesuatu yang tidak dapat direncanakan dan diarahkan. Pandemi COVID-19 bukanlah suatu wabah yang direncanakan, dan keberadaannya sulit untuk dikendalikan. Akhirnya, masyarakat yang sebelumnya tidak menyangka bahwa hal ini akan terjadi, menjadi berubah dan mau tidak mau turut serta dalam permasalahan virus corona ini.
Selama pandemi ini berlangsung, tentunya semua orang akan sangat menghindari bentuk jabat tangan apapun, saling memeluk, ataupun bentuk sentuhan fisik lainnya. Padahal, ada negara yang melakukan kontak-kontak tersebut sebagai perwujudan adat dan budayanya. Misalnya Indonesia memiliki budaya seperti berjabat tangan sebagai bentuk kesopanan. Namun selama pandemi COVID-19, bentuk jabat tangan manapun harus dihindari karena dapat mengakibatkan penyebaran virus corona. Pada akhirnya, pandemi ini menyebabkan budaya yang ada di masyarakat bergeser dan tersingkirkan.
Respon masyarakat terhadap pandemi COVID-19 adalah kecemasan sosial dan rasa takut yang tidak bisa diprediksi. Masyarakat semakin gencar dengan pembelian masker, hand sanitizer, dan juga membiasakan diri untuk mencuci tangan. Bahkan di situasi seperti ini pun, ada masyarakat yang menimbun masker maupun hand sanitizer dan menjualnya dengan harga yang lebih mahal. Kemudian, masyarakat seringkali merasa cemas dan mengalami kepanikan sosial, hingga akhirnya melakukan panic buying, yaitu membeli barang kebutuhan hidup secara berlebihan dan jumlahnya banyak, karena merasa takut bahwa pandemi COVID-19 ini akan semakin dekat dengan lingkungan sehari-hari mereka. Ketika seseorang merasa tidak memiliki kontrol atas hal yang terjadi di sekelilingnya, maka orang itu akan berupaya untuk memiliki kendali. Masyarakat tidak memiliki kontrol akan virus corona, sehingga masyarakat merasa butuh untuk menggunakan hand sanitizer maupun masker sebagai bentuk pengendalian terhadap virus corona.
Akan tetapi, ada sebuah cara dan hal yang dapat dilakukan guna menghambat penyebaran virus corona. Hal tersebut berupa social distancing, yang artinya adalah pembatasan interaksi sosial terhadap individu lainnya. Social distancing ini berarti memutus komunikasi secara langsung untuk sementara waktu, sehingga tidak akan terjadi adanya bentuk kontak fisik langsung pula. Akhirnya masyarakat berkomunikasi secara tidak langsung melalui perantara sekunder, yaitu melalui media sosial. Namun di satu sisi, social distancing ini menyebabkan tatanan sosial rusak. Karena virus corona menciptakan jarak sosial dan membatasi seorang individu untuk berinteraksi dan berdekatan dengan individu lain. Bahkan, kini seseorang akan melakukan suatu diskriminasi berupa kekerasan simbolik terhadap orang lain yang batuk-batuk, atau bersin dan juga lainnya. Seperti teori labelling, orang tersebut akan dicap sebagai tersangka corona sehingga seseorang akan merasa tidak nyaman dan mendiskriminasi kehadiran orang tersebut. Dan pada akhirnya, orang tersebut akan merasa cemas berlebih dan ikut percaya bahwa dirinya tertular corona.
Dalam pandemi ini, peran pemerintah sangat penting untuk memimpin pergerakan dalam mengatasi virus corona. Keberadaan tenaga medis dan kedokteran juga sangat diperlukan untuk menanggulangi pasien positif corona yang terus menerus bertambah. Hal ini berkaitan dengan teori fungsionalisme struktural, dimana masyarakat berada dalam suatu sistem yang terstratifikasi. Dapat dikatakan bahwa stratifikasi merupakan kebutuhan dari suatu sistem. Bila ada posisi yang tidak menjalankan tugasnya, maka sistem sosial akan mengalami kekacauan. Maka, keseimbangan antara peran pemerintah dan tenaga medis harus tetap ada. Keduanya harus menjalankan peranannya agar seluruh bidang kehidupan bisa berjalan dengan baik. Pemerintah tetap berfokus kepada penanggulangan perekonomian yang terguncang. Juga memberikan bantuan dan fasilitas yang memadai kepada masyarakat karena pandemi ini mengakibatkan banyak orang sulit untuk mencari nafkah dan sulit untuk menstabilkan perekonomiannya. Sementara tenaga medis berfokus kepada pengobatan dan penanganan langsung terhadap pasien COVID-19. Tenaga medis adalah mereka yang berada di garis terdepan selama pandemi COVID-19 ini berlangsung.
Selama penanggulangan COVID-19, seluruh negara bekerja sama untuk saling membantu dan menahan laju penyebaran virus corona. Hal ini seperti teori sistem yang dikatakan Niklas Luhmann, dimana secara keseluruhan dunia merupakan suatu sistem dan dunia sosial memiliki sistemnya sendiri yaitu komunikasi. Dalam hal ini, negara-negara yang terinfeksi virus corona akan terus saling berkomunikasi untuk memberikan informasi, bantuan, maupun penanggulangan bersama. Negara-negara tersebut akan saling berkontak karena sama-sama mengalami pandemi COVID-19.
Selama pandemi ini berlangsung, seluruh negara sudah sewajarnya saling membantu dan membentuk suatu jaringan sosial agar bisa sama-sama mengatasi jumlah pasien yang terus menerus naik, mengantisipasi penyebaran COVID-19, dan terus memperkuat fasilitas dan pelayanan tenaga medis dalam upaya memutus rantai pandemi COVID-19.
Oleh: Amandita Putri
Saat ini, dunia sedang dihebohkan dengan adanya pandemi baru, yaitu virus COVID-19. Seluruh dunia sudah menerapkan strategi masing-masing dalam melawan pandemi ini. Indonesia sendiri melawan COVID-19 dengan menerapkan physical and social distancing serta kebijakan “libur” agar masyarakat berada di rumah saja. Hal ini dilakukan pemerintah untuk mengurangi atau memperlambat penyebaran virus. Namun, kebijakan baru ini dihadapi oleh beberapa kesulitan, salah satunya adalah culture shock yang dialami masyarakat. Culture shock merupakan fenomena sosial yang menandai adanya perubahan sosial budaya yang terlalu cepat sehingga dapat menimbulkan konflik sosial.
Masih banyak masyarakat yang belum menerapkan physical and social distancing serta beberapa masyarakat masih berkeliaran di luar rumah. Hal ini, dapat disebabkan oleh culture shock yang dialami mereka karena kebijakan baru dari pemerintah ini, bertentangan dengan kebiasaan masyarakat. Masyarakat terbiasa beraktivitas ke luar rumah, seperti berekreasi, mudik dan pergi bekerja. Kemudian, masih terdapat beberapa warga yang pergi ke pusat-pusat keramaian untuk hangout dan berlibur meski sudah dilarang oleh pemerintah. Mereka tidak terbiasa untuk berada di rumah sehingga muncul rasa jenuh yang memicu tindakan pergi keluar rumah untuk menghibur diri. Sama halnya dengan mudik, masih banyak warga yang melakukan mudik, padahal jam operasional transportasi umum sudah dikurangi dan diperketat oleh pemerintah dengan harapan jumlah warga yang mudik berkurang atau bahkan tidak ada. Namun tetap saja, masih banyak warga yang melakukan mudik karena mudik merupakan suatu kebudayaan warga Indonesia, apalagi menjelang bulan Ramadhan sehingga sulit untuk melarang warga agar tidak melakukan tradisinya.
Selain culture shock, kebodohan juga dapat menjadi alasan mengapa masih banyak warga yang berkeliaran di luar rumah. Mereka kurang mengedukasi diri mengenai bahaya dan pencegahan virus corona sehingga pandemi dunia ini dianggap enteng. Apalagi dengan gejala-gejalanya yang sudah biasa dialami oleh masyarakat Indonesia, yaitu flu dan batuk sehingga kewaspadaan masyarakat belum tinggi.
Selain itu, terdapat masyarakat yang terlalu waspada sehingga timbul juga masalah panic buying. Hal ini juga disebabkan oleh culture shock. Mengapa begitu? Merasa kaget dan terguncang dengan kebijakan pemerintah untuk di rumah saja, banyak orang yang terlalu hati-hati sehingga pada akhirnya mereka membeli kebutuhan pokok dalam skala besar yang mengakibatkan orang lain tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat memicu konflik antara orang-orang yang panic buying dan yang tidak akibat perbedaan pendapat.
Pada akhirnya, kebijakan yang ada untuk melawan virus corona bertentangan dengan kebudayaan yang ada, seperti bekerja dari rumah, tidak bersekolah, dan mengurangi kumpul-kumpul dengan teman. Dengan begitu, pemerintah harus lebih tegas dalam menerapkan kebijakan yang telah mereka buat sehingga Indonesia dapat melewati pandemi ini dengan lancar. Kemudian, pemerintah juga harus meningkatkan sosialisasi akan bahaya dari virus corona sehingga pemahaman publik mengenai kebijakan pemerintah menjadi lebih dalam.
Oleh: G. A. A. Taurisa
Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia maupun dunia sedang menghadapi pandemi COVID-19. Dikarenakan pandemi ini, pemerintah Indonesia menghimbau masyarakat untuk melakukan self isolation serta social distancing untuk memutus rantai penyebaran virus tersebut. Banyak dari sekolah yang sekarang sudah melaksanakan online school dan banyak kantor-kantor yang menerapkan Work from Home atau kerja dari rumah. Pandemi Virus Corona ini menciptakan kepanikan tersendiri bagi masyarakat. Banyaknya hoax di media sosial tentang COVID-19 memicu kepanikan masyarakat. Kepanikan tersebut menciptakan sugesti bagi beberapa orang. Sugesti yang ditimbulkan dari hoax-hoax dan kepanikan tersebut membuat seseorang tidak dapat berpikir secara rasional atau kritis. Mereka yang tersugesti dan panik segera memborong kebutuhan pokok bahkan hand sanitizer dengan jumlah yang sangat-sangat banyak hingga stok nya habis dan membuat sulit orang lain yang padahal lebih membutuhkan barang tersebut.
Kemudian, perilaku self isolation selama pandemi ini cukup merugikan beberapa pihak contohnya pihak/masyarakat kelas bawah yang dari segi ekonomi kurang atau belum tercukupi. Dalam teori sosiologi, hal tersebut disebut stratifikasi sosial atau adanya kelas-kelas sosial. Bagi masyarakat kelas atas, mudah saja bagi mereka untuk mendapatkan bahan pangan dan kebutuhan lain karena mereka pasti memiliki tabungan dan gaji tetap yang besar walaupun ada kebijakan work from home. Serta masyarakat kelas atas akan lebih mudah untuk melaksanakan tes virus corona dikarenakan mereka memiliki uang. Tetapi, bagi masyarakat kelas bawah, hal tersebut tentunya merugikan. Mereka yang tidak memiliki tabungan atau mereka yang upah atau gajinya harian, tentunya akan sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup di masa isolasi dan pandemi ini. Masyarakat kelas bawah juga tentunya akan lebih sulit untuk melaksanakan tes virus corona, karena yang diutamakan pastilah orang-orang yang penting dan memiliki uang.