- Otoritas Tradisional
Dalam masyarakat Indonesia otoritas tradisional ini masih banyak ditemui di daerah-daerah terutama bagi masyarakat yang jauh dari perkotaan. Tipe otoritas ini berlandaskan “pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kekudusan tradisi-tradisi zaman dulu serta legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimilikinya. Jadi alasan mengapa orang tersebut taat pada struktur otoritas ini karena mereka mengikuti dari nenek moyangnya dan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakatnya. Hubungan antara tokoh yang memiliki otoritas dan bawahanya pada dasarnya merupakan hubungan pribadi. Sebenarnya kunci untuk memahami dinamika sistem otoritas tradisional, adalah melihatnya sebagai suatu perpanjangan dari hubungan keluarga. Mereka yang patuh memiliki rasa setia pribadi kepada pemimpinnya yang sebaliknya mempunyai kewajiban tertentu untuk memperhatikan mereka. Walaupun pimpinan dan bawahanya terikat oleh peraturan-peraturan tradisional, masih ada keleluasan bagi atasannya secara pribadi dalam menggunakan otoritasnya dan dalam keadaan seperti itu bawahan terpaksa taat.
Dalam otoritas ini kita dapat menemuinya di Indonesia pada Suku Dani. Masyarakat Dani memiliki kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong. Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku. Organisasi kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga dan keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial.[2] Dalam setiap pendirian rumahnya masyarakat Dani mempercayai perkataan dari kepal sukunya dan di anggapnya adalah utusan dewa.
- Otoritas Kharismatik
Di negara Indonesia pernah dipimpin oleh seseorang yang berjiwa kharismatik yang dapat menyihir orang lain untuk patuh dan taat kepadanya. Sebut saja K.H. Abdurahman Wahid atau akrab disebut Gusdur, yang pernah menjadi Presiden RI ke-4. Masyarakat mempercayai dari setiap kata-katanya dan sebagai sosok yang dapat merubah kehidupan bangsa. Otoritas ini didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin sebagai seorang pribadi. Otoritas seperti ini lain daripada bentuk otoritas biasa. Istilah “kharisma” digunakan dalam pengertian yang luas untuk menunjuk pada daya tarik pribadi yang ada pada orang sebagai pemimpin. Weber juga menghubungkan orang yang berjiwa kharismatik memiliki hubungan khusus kepada sang ilahi sehingga banyak para pengikutnya yang mempercayai perkataannya. Berbeda dengan otoritas tradisional yang di orientasikan kepada hal-hal yang rutin, stabil dan langgeng. Otoritas kharismatik cenderung dinamis dan mudah berubah-ubah. Jika mengadakan gerakan-gerakan yang dipimpin oleh kharismatik dan ketika pemimpinnya itu meninggal maka semangat dan otoritasnya pun menjadi bercabang.
- Otoritas Legal-Rasional
Otoritas ini didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal disebut Weber dengan istilah otoritas legal-rasional. Tipe ini sangat erat dengan otoritas rasionalitas instrumental yang dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan dengan memilih sesuai pilihan. Namun otoritas ini berbeda dengan otoritas tradisional dan otoritas kharismatik. Otoritas ini dimana pemimpinnya memiliki suatu posisi sosial yang menurut peraturan yang berhak, dia didefinisikan sebagai orang yang memiliki posisi otoritas. Seleksi terhadap orang-orang untuk menduduki posisi otoritas ini atau posisi bawahan juga diatur secara eksplisit oleh peraturan yang resmi dan sah.[3]
Otoritas ini dipakai pada sistem pemilihan presiden di Indonesia pada Pemilu 8 juli 2009 dengan melalui tahapan-tahapan khusus untuk menjadi presiden. Adapun persyaratan yang harus dijalani adalah tes kesehatan. Dan harus memenuhi kriteria khusus untuk menduduki kursi nomer satu di Indonesia.
1. Doyle Paul Johnson di indonesiakan oleh Robert M.Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1994) hal. 227
2. Di lihat dari http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dani (di akses pada tanggal 13 Juni 2009)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar