Entri Populer

Selasa, 21 Juli 2020

Menuju Disrupsi Pendidikan

Sudah satu minggu memulai tahun ajaran 2020 metode pembelajaran kami disekolah menggunakan virtual class. Kami menggunakan platform dari google seperti google meet dan aplikasi google lainnya untuk memudahkan pembelajaran kami. Saat pembelajaran tidak ada kendala internal dari guru dan murid kecuali dari eksternal yaitu internet.

Dalam pembelajaran jarak jauh terdapat tiga pilar yaitu; 

  1. pelaku pembelajaran dalam hal ini guru dan murid, tentu tidak ada guru dan murid bukanlah pembelajaran.
  2. alat pembelajaran dalam hal ini meliputi laptop atau hp, jika sebelumnnya menggunakan spidol dan kertas atau alat tulis.
  3. internet, jalur yang menghubungkan antara murid dengan guru.

Jika ketiga pilar tersebut tidak lengkap maka virtual class tidak akan pernah terjadi. Realitasnya pilar ketiga yaitu internet sebagai faktor eksternal sering mengalami kendala. Ketika kejadian salah satu ISP mengalami gangguan, virtual class langsung bubar, proses pembelajaran yang tadinya terhubung menjadi lost contact. 

Masa pandemi ini telah menggeser pola pembelajaran konvensional di kelas menjadi pembelajaran virtual melalui jaringan internet. Jika orang tua membayar SPP anaknya untuk sekolah kali ini orang tua wajib membayar lebih kouta untuk provider yang menyediakan internet. Berarti mari kita sepakati bersama bahwa internet merupakan bagian dari pendidikan era ini. 

Siapakah pemilik internet? apakah perusahaan telekomunikasi A, B, atau C. Tapi bagi saya, internet layaknya sumber daya "alam" yang dimiliki oleh siapa pun tanpa harus membayarnya. Loh kok bisa? iyalah yang kita bayar adalah infrastrukturnya. Jika kita memiliki infrastruktur untu mengambil jalur internet maka kita bisa melakukan pembelajaran. Analoginya seperti ini, air adalah sumber daya alam, jika kita hendak mendapatkan air, maka kita bisa menggali sungai, membeli pompa air, dan lainya seperti itu.

Maka, kita cukup mengeluarkan dana menyediakan infrastrukturnya tapi buka membeli airnya. Bagaimana dengan internet? asusmsi saya pertama, jika pendidikan dilakukan secara jarak jauh ini menjadi permanen dan tidak jelas kapan selesainya. Pemerintah harus menyediakan infrastruktur internet. Sudah ada yaitu telkom dan lainnya. Kementerian Pendidikan punya e-raport Dapodik yang dapat diakses oleh setiap sekolah. Cuma, tidak semua sekolah tahu dan mau menggunakan e-raport itu. Sekarang manakah aplikasi yang harus ada dalam virtual class? 

  1. penyimpanan file (cloud)
  2. platform classroom
  3. video call atau conference

Apakah aplikasi di atas tersedia? jawabannya iya sudah ada dan semua bisa diakses oleh kita. Apakah aplikasi itu milik Indonesia? jawabannya "ngimpiiiiii" Indonesia punya itu. 

Kembali ke pilar ketiga, internet. Jika kita berandai-andai salah satu, satu saja, gak usah banyak banyak. Provider internet kita melalui perusahaan telekomunikasi plat merah milik BUMN bersedia untuk memfasilitasi aplikasi agar dapat diakses untuk pendidikan. Maka itu adalah topmarkotop.
Aplikasinya apa saja? penyimpanan file (cloud) khusus pendidikan cukup dengan ukuran 10GB untuk menyimpan buku digital. platform classroom, ambillah milik google classroom, bisa free akses tanpa kouta karena classroom terhubung dengan cloud maka sekalian milik google drivenya itu. Terakhir adalah video call/conference yang bebas tanpa kouta, aplikasi seperti zoom meeting, cisco webex, atau google meet, ambil salah satu saja. Belajar tanpa tatap muka seperti makan tanpa lauk. Betul? 

Era disrupsi pendidikan akan segera terwujud, ketika ketiga pilar pembelajaran jarak jauh difasilitasi oleh negara. Jika masih menggunakan kouta, berapa banyak biaya dari guru dan murid secara tidak terhitung menguap. Untuk mengakses video call saja bisa menghabiskan 1GB dalam waktu satu jam. Harga kouta 1GB katakanlah RP.2.000 saja. Tapi jika dilakukan berjam-jam dan berhari-hari. Berapa dana yang dikeluarkan oleh guru dan murid?

Belum lagi, sudah bayar sendiri malah gangguan. internet leletlemot. malah byarpet. 

Saya harap Menteri Pendidikan, Menteri BUMN, dan Menteri Komunikasi dan Informatika duduk bersama Presiden Jokowi membahas ketiga pilar ini. 

Maaf jika tulisan ini kurang berkenan.

Semoga pendidikan Indonesia lebih maju.

Selasa, 02 Juni 2020

Cara Sosiologis Akhiri Wabah Corona


Selama tiga bulan ini, bahkan dari Wuhan, China sedang ramai diberitakan wabah Covid19 ini, saya sudah banyak membaca berita, kemudian terpikir akan skenario untuk menghentikan Pandemi Covid19 ini secara sosiologis. Sebelumnya saya pernah menulis dengan judul Kajian Sosiologi: Sulitnya Melawan Virus Corona setelah saya melakukan pengamatan komunitas, mempelajari secara sosio histori dan ilmu ilmu sosial. Bahwa, covid19 merebak karena sosiologis yaitu globalisasi media, konflik sosial antara AS dan China, dan norma sosial warga kita.

Pandemi masuk ke Indonesia saya mulai dari 2 Maret 2020 ketika pasien o1 diumumkan hingga sekarang masuk tanggal 2 Juni 2020 berarti sudah tiga bulan berjalan. Tidak ada tanda-tanda bahwa ini akan selesai atau bersih dari Indonesia. Walaupun pemerintah sudah melakukan berbagai cara untuk menghentikan ini, dari social distancing, PSBB, dan New Normal nantinya, virus flu ini tidak akan bersih. Apakah pemerintah sia-sia? pemerintah sudah melakukan tugasnya sebagai pelindung warga negara, itu yang membuat warga merasa eksistensi pemerintah dalam pandemi ini.

Kita throwback, Desember sampai perayaan Imlek Januari 2020 berita tentang novelcorona virus (nCov) di Wuhan, China mulai ramai, tapi di Jakarta sedang marak berita banjir di malah tahun baru, berita yang tersebar seputar banjir itulah. Kemudian saat perayaan imlek media nasional dan internasional memberitakan akan maraknya penyebaran virus corona di seluruh Wuhan, China. Isunya berasal dari pasar hewan, seperti kelelawar. Tapi itu isu, karena tidak pernah ada bukti bahwa itu memang berasal dari kelelawar. Di Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia sedang asyik merayakan imlek, mall juga merayakan dengan budaya Barongsai, dan perayaan-perayaan lain. Saat ini warga masih tenang, walapun berita tentang nCov makin ramai.


Kajian globalisasi, penyebaran berita informasi tentang wabah nCov di Wuhan, China mempercepat penularan psikologis dan sosiologis buat negara lain, pasalnya orang jadi parno akan nCov ini. Ditambah lagi arus transportasi yang masih di buka di berbagai negara, globalisasi adalah tidak adanya batas negara yang menutup informasi dan transportasi sehingga warga secara fisik dan nonfisik terhubung. Secara informasi nCov menyebar ke berbagai negara hingga ke Indonesia. Sedangkan secara transportasi menginfeksi secara fisik penyebaran virus ini ke berbagai negara, seperti Italia, Jepang, Korea Selatan, dll. Kemudian WHO turun tangan untuk membuat porsedur penanganan ini akhirnya dikategorikan Pandemi dan namanya menjadi Covid-19.

Kajian konflik sosial, pelaku konflik disini adalah Amerika Serikat dengan China, apa hubungan konflik dua negara tersebut? saya tidak mengatakan bahwa Covid19 sebagai alat perang, karena saya bukan intelejen, tapi saya mengatakan dengan jelas bahwa propaganda Covid19 ini disengaja dibuat-buat. Contohnya begini, ketika ada dua tetangga berantem, kemudian salah satunya sakit-sakitan, contoh sakit yang ditakuti dan menular adalah TBC, kemudian sama tetangganya berita tadi dibesarkan dan dibuat-buat, agar seluruh warga merasa takut untuk berinteraksi dengan orang TBC tadi. 
Media sosial adalah alat perang di era globalisasi. Berita tentang Wuhan, China berhasil dibuat besar, seolah-olah penyakitnya parah dan tidak bisa disembuhkan sama sekali, kemudian berita menginformasikan jumlah orang meninggal. Di sinilah mulai ketakutan warga, ditambah lagi dengan berita tidak adanya vaksin. Kemudian diviralkan di media sosial facebook cs, instagram, WA, dll kalau pasien covid19 terlantar di Wuhan, Wuhan di lockdown, Wuhan menjadi kota mati, berita itulah terus terusan sebagai efek penularan psikologis dan sosiologis. Apa manfaat dari konflik sosial ini, tentu ekonomi China lumpuh, siapa yang diuntungkan Amerika Serikat memanfaatkan momen Covid19 ini sebagai alat perang dagang mereka. 

Masuklah ke Indonesia, awal Maret 2020, waktu itu warga Indonesia masih nyaman, mereka tahu tentang Covid19, saya juga penasaran seluas negara ini kenapa belum ada yang positif, padahal pintu masuk Indonesia begitu banyak, sampai Bali dan NTB menjadi wisata alternatif selain ke China. WHO malah mau turun langsung ke Indonesia merasa aneh kenapa belum ada yang positif, WHO meragukan alat pendeteksi di pintu-pintu masuk Indonesia.

Pasien 01 dan 02 resmi diumumkan, kepanikan mulai, setelah Menkes melaporkan dua warga Indonesia positif, penyebabnya adalah globalisasi transportasi tadi, sudah terserang secara sosiologis ditambah terinfeksi fisik langsung, terjadinya panic buying, harga masker melonjak, sulitnya mencari vitamin C, harga jahe mahal, dll. Kemudian pemerintah daerah DKI Jakarta mulai ambil sikap, Pemda Jawa Barat mulai repson, hingga pemerintah pusat.

Saya membaca kehati-hatian Presiden Jokowi dalam menangani pandemi ini, awalnya presiden tidak mengijinkan untuk lockdown, lebih memilih social distancing, tetapi satu saja daerah berani menerapkan lebih berani tentang pandemi ini, maka akan diikuti oleh daerah lain, contohnya DKI Jakarta merumahkan sekolah dengan metode daring, saya ingat hari sabtu tanggal 20 Maret 2020 Gubernus Anies Baswedan membuat kebijakan tentang sekolah online, fasilitas wisata ditutup dll, kemudian hari minggunya, Pemda Kota Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor Kota, mengikuti kebijakan DKI Jakarta. Saya menilai Gubernur dan Presiden tidak sejalan dalam menangani pandemi ini. Melihat di awal, adanya kebijakan antara Gubernur dan Presiden yang tarik menarik.
Kajian norma sosial, penerapan social distancing dan PSBB tidak semua dipatuhi karena beberapa warga atau daerah tidak tepat. Sebenarnya pemerintah tidak salah langkah, tapi proses sosiologisnya tidak tepat, warga Indonesia sebagian masih tindakan sosialnya irasional dan tradisional. Hal-hal yang diluar kebiasaan mereka anggap tidak boleh dihindari, sedangkan standar WHO cocok untuk warga Indonesia yang tindakan sosialnya rasional. 

Lalu, Pandemi Covid19 ini akan selesai jika, Pertama, pemerintah mengelola informasi kasus positif Covid19, misalnya pasien yang benar-benar parah saja yang dilaporkan, atau dengan kasus yang berat, orang tanpa gejala dan memiliki harapan hidup tidak dilaporkan, ini mengurangi kasus baru, berharap informasi ini memberikan efek baik untuk warga Indonesia. Kedua, beritakan info-info positif, Jangan beritakan hal-hal yang menakutkan kalau realitasnya bisa sembuh dengan sendirinya, kadang ada berita yang menakuti seperti judul "anak yatim piatu karena corona", "corona tidak bisa disembuhkan", bahkan iklan di TV bagi saya menakutkan seperti iklan sabun, vitamin, dll, seolah-olah virus itu menakutkan dan dengan mengkonsumsi produk mereka akan lebih baik. Ketiga, New Normal Mandiri,  awalnya pemerintah berani sedikit demi sedikit membuka PSBB dan pemulihan ekonomi, dengan ini warga akan kembali dengan aktivitas semula tanpa memikirkan Covid19 serta informasikan tren positif tentang perkembangan Covid19, biarkan new normal mandiri dulu, sama ketika isolasi mandiri yang dilakukan pemerintah, setelah new normal mandiri dari tingkat RT hingga desa/keluarahan baru lakukan tingkat massal. Keempat, internalisasikan budaya baru seperti cuci tangan dan penggunaan masker bagi yang sakit, sebagian warga Indonesia dalam hal ini budaya cuci tangan dan ber-masker adalah budaya baru. Cuci tangan dan menggunakan masket harus dibudayakan dan di sosialisasikan ke media sosial secara terus menerus.  Setiap instituti dan unit unit kecil masyarakat harus menerapkan budaya ini. Dengan begini warga akan "new norma" dengan kebiasaan baru selama wabah corona dan menjadi kebiasaan sehari hari nantinya.

Opsi ini adalah secara sosiologis, saya tidak mengesampingkan dari sudut ilmu kesehatan. Cuma, kita lihat realitasnya di lapangan, jika benar-benar lockdown total pun, selama satu bulan apakah vaksin ini sudah ditemukan? tentu hal ini tidak pasti. Pasien positif covid19 juga diminta untuk memilih isolasi mandiri atau isolasi rumah sakit dengan biaya atau asuransi kesehatannya, jika yang tidak memiliki biaya, mau tidak mau isolasi mandiri. Sambil menunggu vaksin ditemukan, kita pulihkan kondisi sosiologisnya dulu, dengan suplemen vitamin dan olahraga yang baik. Pada akhirnya virus corona juga akan hidup bersama dengan manusia seperti virus-virus terdahulu.
 



Selasa, 28 April 2020

TEST 2 Sosialisasi, penyimpangan sosial, dan pengendalian sosial

Bacalah ilustrasi cerita sosiologi untuk menjawab nomor 1 – 8 kemudian jawab pertanyaannya! 

Membangun Rumah-rumahan

Di kampung Durian Runtuh yang tenang dan asri hidup anak-anak yang menggemaskan. Setiap anak lahir dari keluarga yang memiliki ciri keunikan masing-masing. Ada keluarga yang berasal dari Melayu, India, dan China. Begitu pula disetiap keluarga menerapkan cara membesarkan anak sesuai dengan adat istiadatnya.
Upin dan Ipin tinggal bersama Kak Ros dan Opah (nenek) yang membesarkannya, karena ayah dan ibunya telah meninggal sejak mereka bayi. Untuk membesarkan Upin dan Ipin Kak Ros cenderung lebih tegas dan galak ketika Upin dan Ipin nakal, semisal ketika Upin dan Ipin tidak mau belajar, bisa dijewer sama Kak Ros, namun berbeda dengan Opah yang masih toleran ketika Upin dan Ipin nakal.
Upin dan Ipin memiliki banyak teman, seperti Jarjit, Fizi, Ehsan, Ismail, dan Mei Mei. Pada suatu saat mereka membangun rumah-rumahan di lapangan di tempat biasa mereka main. Jarjit berpantun “dua tiga buah durian montong, mari kita bangun rumah gedong”, berpantun kebiasaan Jarjit karena orang tuanya memasukan dia ke Sanggar Seni Melayu dan jika dia menolak sering mendapat sanksi.
Ketika membangun sebuah rumah-rumahan Upin dan Ipin terlihat sangat kotor dan berantakan, lalu mereka ditegur sama Fizi kalau rumah yang dibuat haruslah rapih dan bersih agar penghuninya juga sehat. Fizi dikenal anak yang suka menjaga kebersihan karena oleh orangtuanya yang selalu menasehatinya. Kemudian Upin dan Ipin menuruti pesan dari Fizi untuk merapihkan rumah-rumahannya.
Berbeda dengan Mei Mei saat membangun rumah-rumahan, Mei Mei terlebih dahulu membaca majalah Feng Shui tentang konsep rumah yang nyaman. Kemudian Mei Mei mendapat banyak pengetahuan dari majalah dan membangun rumah-rumahan tersebut. Sehingga teman-temannya melihat bahwa rumah yang dibangun lebih bagus dari pada yang lain.



Ilustrasi Cerita Sosiologi T1 Nilai dan Norma sosial

Korban Pencurian yang Baik Hati 


Penyesalan memang selalu datang belakangan. Namun berkat penyesalan itu, Roy (25), pemulung yang tertangkap basah mencuri gorengan di sebuah warung kelontong, akhirnya dimaafkan korbannya. Akibatnya, pria yang sehari-hari bekerja sebagai pemulung itu bebas dari tuntutan hukum dan diizinkan pulang dari kantor polisi. 

Percobaan pencurian itu terjadi di Teluk RT 06 RW 07, Neka Jaya, Kecamatan Neka Timur. Saat itu Roy masuk ke warung milik Ny. Habibah (50) yang sedang tidak dijaga. Setelah mengambil empat gorengan, Roy langsung pergi ketakutan saat melihat Habibah datang ke warungnya. Keruan saja Habibah meneriaki “maling” ketika melihat Roy langsung lari dengan gorengan di tangan kanan dan kirinya. 

Mendengar teriakan itu, Roy berusaha lari sambil menjatuhkan gorengan. Warga mengejar dan menangkap pemulung itu dan menghakimi Roy dengan pemukulan. Namun, Habibah tampaknya tidak tega melihat Roy dipukuli. Ia berusahan menghentikan tindakan anarkis massa dengan melindunginya dari amukan. Akibatnya, Habibah kena pukulan di tangannya. 

Dalam perlindungan Habibah juga Roy akhirnya selamat, kemudian pihak kepolisian datang dengan membawanya ke kantor polisi terdekat. Mungkin karena terharu atas kebaikan Habibah juga, Roy pun menangis sesunggukan sepanjang perjalanan itu. Ketika Habibah datang ke kantor polisi untuk keperluan pemeriksaan, tangis Roy seakan pecah, kemudian bersimpuh sambil memeluk kaki kiri Habibah yang saat itu sudah duduk di depan polisi. 

Sambil terisak-isak, Roy berkata bahwa baru pertama kali itu dia mencuri. Permintaan maaf pun terus terlontarkan kepada Habibah. Untuk lebih menyakinkan, Roy bahkan bersedia membuat surat pernyataan tidak akan mengulangi perbuatanya. Kalau perlu, ia juga bersedia mengganti harga empat gorengan dengan uang yang ada disakunya. “Saya kalut, sudah tidak bisa berpikir apa-apa. Saya bingung karena butuh uang buat biaya anak saya yang sakit”, katanya disela isak tangis. 

Lebih lanjut ia menyatakan sudah dua hari memulung, tetapi hasilnya cuma Rp50.000. Padahal dia butuh Rp.100.000 untuk memeriksa Ria (1), anaknya yang sejak lahir sering step. Rupanya pengakuan Roy membuat Habibah luluh. Dimata Habibah, lelaki kurus dengan pakaian lusuh itu tidak berpura-pura agar dibebaskan. Maka, didepan polisi Habibah menyatakan tidak akan menuntut Roy asal dia berjanji tidak mengulangi perbuatanya dengan alasan apa pun. Roy pun merasa lega. Roy terus bersimpuh dilantai dengan kepala tunduk dan berurai air mata sambil mengatakan terima kasih kepada Habibah. Akhirnya Roy dizinkan pulang dari kantor polisi dan selalu ingat janji untuk tidak mencuri untuk alasan apapun.

Sumber: Kun Maryati dkk, Sosiologi untuk SMA Kelas X, Esis, hal.46-47

Statistik Pengunjung

Socio Education

Merupakan Weblog tentang seputar materi ilmu sosial sebagai penunjang dan pelengkap edukasi.

  © Design Blog 'Ultimatum' by Socio Education 2020

Back to TOP