Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label virus corona. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label virus corona. Tampilkan semua postingan

Selasa, 02 Juni 2020

Cara Sosiologis Akhiri Wabah Corona


Selama tiga bulan ini, bahkan dari Wuhan, China sedang ramai diberitakan wabah Covid19 ini, saya sudah banyak membaca berita, kemudian terpikir akan skenario untuk menghentikan Pandemi Covid19 ini secara sosiologis. Sebelumnya saya pernah menulis dengan judul Kajian Sosiologi: Sulitnya Melawan Virus Corona setelah saya melakukan pengamatan komunitas, mempelajari secara sosio histori dan ilmu ilmu sosial. Bahwa, covid19 merebak karena sosiologis yaitu globalisasi media, konflik sosial antara AS dan China, dan norma sosial warga kita.

Pandemi masuk ke Indonesia saya mulai dari 2 Maret 2020 ketika pasien o1 diumumkan hingga sekarang masuk tanggal 2 Juni 2020 berarti sudah tiga bulan berjalan. Tidak ada tanda-tanda bahwa ini akan selesai atau bersih dari Indonesia. Walaupun pemerintah sudah melakukan berbagai cara untuk menghentikan ini, dari social distancing, PSBB, dan New Normal nantinya, virus flu ini tidak akan bersih. Apakah pemerintah sia-sia? pemerintah sudah melakukan tugasnya sebagai pelindung warga negara, itu yang membuat warga merasa eksistensi pemerintah dalam pandemi ini.

Kita throwback, Desember sampai perayaan Imlek Januari 2020 berita tentang novelcorona virus (nCov) di Wuhan, China mulai ramai, tapi di Jakarta sedang marak berita banjir di malah tahun baru, berita yang tersebar seputar banjir itulah. Kemudian saat perayaan imlek media nasional dan internasional memberitakan akan maraknya penyebaran virus corona di seluruh Wuhan, China. Isunya berasal dari pasar hewan, seperti kelelawar. Tapi itu isu, karena tidak pernah ada bukti bahwa itu memang berasal dari kelelawar. Di Jakarta dan beberapa daerah di Indonesia sedang asyik merayakan imlek, mall juga merayakan dengan budaya Barongsai, dan perayaan-perayaan lain. Saat ini warga masih tenang, walapun berita tentang nCov makin ramai.


Kajian globalisasi, penyebaran berita informasi tentang wabah nCov di Wuhan, China mempercepat penularan psikologis dan sosiologis buat negara lain, pasalnya orang jadi parno akan nCov ini. Ditambah lagi arus transportasi yang masih di buka di berbagai negara, globalisasi adalah tidak adanya batas negara yang menutup informasi dan transportasi sehingga warga secara fisik dan nonfisik terhubung. Secara informasi nCov menyebar ke berbagai negara hingga ke Indonesia. Sedangkan secara transportasi menginfeksi secara fisik penyebaran virus ini ke berbagai negara, seperti Italia, Jepang, Korea Selatan, dll. Kemudian WHO turun tangan untuk membuat porsedur penanganan ini akhirnya dikategorikan Pandemi dan namanya menjadi Covid-19.

Kajian konflik sosial, pelaku konflik disini adalah Amerika Serikat dengan China, apa hubungan konflik dua negara tersebut? saya tidak mengatakan bahwa Covid19 sebagai alat perang, karena saya bukan intelejen, tapi saya mengatakan dengan jelas bahwa propaganda Covid19 ini disengaja dibuat-buat. Contohnya begini, ketika ada dua tetangga berantem, kemudian salah satunya sakit-sakitan, contoh sakit yang ditakuti dan menular adalah TBC, kemudian sama tetangganya berita tadi dibesarkan dan dibuat-buat, agar seluruh warga merasa takut untuk berinteraksi dengan orang TBC tadi. 
Media sosial adalah alat perang di era globalisasi. Berita tentang Wuhan, China berhasil dibuat besar, seolah-olah penyakitnya parah dan tidak bisa disembuhkan sama sekali, kemudian berita menginformasikan jumlah orang meninggal. Di sinilah mulai ketakutan warga, ditambah lagi dengan berita tidak adanya vaksin. Kemudian diviralkan di media sosial facebook cs, instagram, WA, dll kalau pasien covid19 terlantar di Wuhan, Wuhan di lockdown, Wuhan menjadi kota mati, berita itulah terus terusan sebagai efek penularan psikologis dan sosiologis. Apa manfaat dari konflik sosial ini, tentu ekonomi China lumpuh, siapa yang diuntungkan Amerika Serikat memanfaatkan momen Covid19 ini sebagai alat perang dagang mereka. 

Masuklah ke Indonesia, awal Maret 2020, waktu itu warga Indonesia masih nyaman, mereka tahu tentang Covid19, saya juga penasaran seluas negara ini kenapa belum ada yang positif, padahal pintu masuk Indonesia begitu banyak, sampai Bali dan NTB menjadi wisata alternatif selain ke China. WHO malah mau turun langsung ke Indonesia merasa aneh kenapa belum ada yang positif, WHO meragukan alat pendeteksi di pintu-pintu masuk Indonesia.

Pasien 01 dan 02 resmi diumumkan, kepanikan mulai, setelah Menkes melaporkan dua warga Indonesia positif, penyebabnya adalah globalisasi transportasi tadi, sudah terserang secara sosiologis ditambah terinfeksi fisik langsung, terjadinya panic buying, harga masker melonjak, sulitnya mencari vitamin C, harga jahe mahal, dll. Kemudian pemerintah daerah DKI Jakarta mulai ambil sikap, Pemda Jawa Barat mulai repson, hingga pemerintah pusat.

Saya membaca kehati-hatian Presiden Jokowi dalam menangani pandemi ini, awalnya presiden tidak mengijinkan untuk lockdown, lebih memilih social distancing, tetapi satu saja daerah berani menerapkan lebih berani tentang pandemi ini, maka akan diikuti oleh daerah lain, contohnya DKI Jakarta merumahkan sekolah dengan metode daring, saya ingat hari sabtu tanggal 20 Maret 2020 Gubernus Anies Baswedan membuat kebijakan tentang sekolah online, fasilitas wisata ditutup dll, kemudian hari minggunya, Pemda Kota Bekasi, Tangerang, Depok, Bogor Kota, mengikuti kebijakan DKI Jakarta. Saya menilai Gubernur dan Presiden tidak sejalan dalam menangani pandemi ini. Melihat di awal, adanya kebijakan antara Gubernur dan Presiden yang tarik menarik.
Kajian norma sosial, penerapan social distancing dan PSBB tidak semua dipatuhi karena beberapa warga atau daerah tidak tepat. Sebenarnya pemerintah tidak salah langkah, tapi proses sosiologisnya tidak tepat, warga Indonesia sebagian masih tindakan sosialnya irasional dan tradisional. Hal-hal yang diluar kebiasaan mereka anggap tidak boleh dihindari, sedangkan standar WHO cocok untuk warga Indonesia yang tindakan sosialnya rasional. 

Lalu, Pandemi Covid19 ini akan selesai jika, Pertama, pemerintah mengelola informasi kasus positif Covid19, misalnya pasien yang benar-benar parah saja yang dilaporkan, atau dengan kasus yang berat, orang tanpa gejala dan memiliki harapan hidup tidak dilaporkan, ini mengurangi kasus baru, berharap informasi ini memberikan efek baik untuk warga Indonesia. Kedua, beritakan info-info positif, Jangan beritakan hal-hal yang menakutkan kalau realitasnya bisa sembuh dengan sendirinya, kadang ada berita yang menakuti seperti judul "anak yatim piatu karena corona", "corona tidak bisa disembuhkan", bahkan iklan di TV bagi saya menakutkan seperti iklan sabun, vitamin, dll, seolah-olah virus itu menakutkan dan dengan mengkonsumsi produk mereka akan lebih baik. Ketiga, New Normal Mandiri,  awalnya pemerintah berani sedikit demi sedikit membuka PSBB dan pemulihan ekonomi, dengan ini warga akan kembali dengan aktivitas semula tanpa memikirkan Covid19 serta informasikan tren positif tentang perkembangan Covid19, biarkan new normal mandiri dulu, sama ketika isolasi mandiri yang dilakukan pemerintah, setelah new normal mandiri dari tingkat RT hingga desa/keluarahan baru lakukan tingkat massal. Keempat, internalisasikan budaya baru seperti cuci tangan dan penggunaan masker bagi yang sakit, sebagian warga Indonesia dalam hal ini budaya cuci tangan dan ber-masker adalah budaya baru. Cuci tangan dan menggunakan masket harus dibudayakan dan di sosialisasikan ke media sosial secara terus menerus.  Setiap instituti dan unit unit kecil masyarakat harus menerapkan budaya ini. Dengan begini warga akan "new norma" dengan kebiasaan baru selama wabah corona dan menjadi kebiasaan sehari hari nantinya.

Opsi ini adalah secara sosiologis, saya tidak mengesampingkan dari sudut ilmu kesehatan. Cuma, kita lihat realitasnya di lapangan, jika benar-benar lockdown total pun, selama satu bulan apakah vaksin ini sudah ditemukan? tentu hal ini tidak pasti. Pasien positif covid19 juga diminta untuk memilih isolasi mandiri atau isolasi rumah sakit dengan biaya atau asuransi kesehatannya, jika yang tidak memiliki biaya, mau tidak mau isolasi mandiri. Sambil menunggu vaksin ditemukan, kita pulihkan kondisi sosiologisnya dulu, dengan suplemen vitamin dan olahraga yang baik. Pada akhirnya virus corona juga akan hidup bersama dengan manusia seperti virus-virus terdahulu.
 



Senin, 06 April 2020

Analisa sosiologi: Pandemi Covid-19 di Indonesia.

Disclaimer: Ini adalah hasil tulisan siswa-siswi SMA Global Prestasi pada Home Learning Activity Program yang merespon tentang Pandemi Covid-19 di Indonesia dari sudut pandang sosiologi. 

Kita ketahui bahwa pandemi covid-19 di Indonesia semakin meluas dan menjadi masalah sosial, keberadaan virus ini faktanya dapat ditinjau dari mikroskop sosiologi. Ketika terjadi dinamika di masyarakat tentu bisa ditinjau dari teori-teori sosiologi walaupun itu episentrumnya berasal dari disiplin ilmu biologi. Tugas Anda sebagai masyarakat yang ber-sosiologi, harus peka dan kritis menyikapi dinamika ini. Tuliskan analisa Anda, berlandaskan teori-teori sosiologi untuk merespon wabah dari makhluk superkecil ini.

Oleh: Michelle Regina


Pada Januari 2020, seluruh dunia digemparkan dengan keberadaan virus corona dan ditemukan pertama kali di Wuhan, China. Tidak butuh waktu yang lama bagi virus corona untuk menyebar ke seluruh dunia. Hingga akhirnya seluruh dunia mengalami pandemi COVID-19 dan mengakibatkan perekonomian maupun kehidupan sosial menjadi berantakan dan tidak terkendali. Virus corona yang merebak ini menjadi masalah sosial yang amat menyulitkan negara-negara yang terinfeksi.
Dalam hal ini, pandemi COVID-19 dapat dikaitkan dengan teori perubahan sosial, yaitu teori perubahan melingkar. Teori ini mengatakan bahwa perubahan sosial pada masyarakat adalah sesuatu yang tidak dapat direncanakan dan diarahkan. Pandemi COVID-19 bukanlah suatu wabah yang direncanakan, dan keberadaannya sulit untuk dikendalikan. Akhirnya, masyarakat yang sebelumnya tidak menyangka bahwa hal ini akan terjadi, menjadi berubah dan mau tidak mau turut serta dalam permasalahan virus corona ini.


Selama pandemi ini berlangsung, tentunya semua orang akan sangat menghindari bentuk jabat tangan apapun, saling memeluk, ataupun bentuk sentuhan fisik lainnya. Padahal, ada negara yang melakukan kontak-kontak tersebut sebagai perwujudan adat dan budayanya. Misalnya Indonesia memiliki budaya seperti berjabat tangan sebagai bentuk kesopanan. Namun selama pandemi COVID-19, bentuk jabat tangan manapun harus dihindari karena dapat mengakibatkan penyebaran virus corona. Pada akhirnya, pandemi ini menyebabkan budaya yang ada di masyarakat bergeser dan tersingkirkan.
Respon masyarakat terhadap pandemi COVID-19 adalah kecemasan sosial dan rasa takut yang tidak bisa diprediksi. Masyarakat semakin gencar dengan pembelian masker, hand sanitizer, dan juga membiasakan diri untuk mencuci tangan. Bahkan di situasi seperti ini pun, ada masyarakat yang menimbun masker maupun hand sanitizer dan menjualnya dengan harga yang lebih mahal. Kemudian, masyarakat seringkali merasa cemas dan mengalami kepanikan sosial, hingga akhirnya melakukan panic buying, yaitu membeli barang kebutuhan hidup secara berlebihan dan jumlahnya banyak, karena merasa takut bahwa pandemi COVID-19 ini akan semakin dekat dengan lingkungan sehari-hari mereka. Ketika seseorang merasa tidak memiliki kontrol atas hal yang terjadi di sekelilingnya, maka orang itu akan berupaya untuk memiliki kendali. Masyarakat tidak memiliki kontrol akan virus corona, sehingga masyarakat merasa butuh untuk menggunakan hand sanitizer maupun masker sebagai bentuk pengendalian terhadap virus corona.

Akan tetapi, ada sebuah cara dan hal yang dapat dilakukan guna menghambat penyebaran virus corona. Hal tersebut berupa social distancing, yang artinya adalah pembatasan interaksi sosial terhadap individu lainnya. Social distancing ini berarti memutus komunikasi secara langsung untuk sementara waktu, sehingga tidak akan terjadi adanya bentuk kontak fisik langsung pula. Akhirnya masyarakat berkomunikasi secara tidak langsung melalui perantara sekunder, yaitu melalui media sosial. Namun di satu sisi, social distancing ini menyebabkan tatanan sosial rusak. Karena virus corona menciptakan jarak sosial dan membatasi seorang individu untuk berinteraksi dan berdekatan dengan individu lain. Bahkan, kini seseorang akan melakukan suatu diskriminasi berupa kekerasan simbolik terhadap orang lain yang batuk-batuk, atau bersin dan juga lainnya. Seperti teori labelling, orang tersebut akan dicap sebagai tersangka corona sehingga seseorang akan merasa tidak nyaman dan mendiskriminasi kehadiran orang tersebut. Dan pada akhirnya, orang tersebut akan merasa cemas berlebih dan ikut percaya bahwa dirinya tertular corona.

Dalam pandemi ini, peran pemerintah sangat penting untuk memimpin pergerakan dalam mengatasi virus corona. Keberadaan tenaga medis dan kedokteran juga sangat diperlukan untuk menanggulangi pasien positif corona yang terus menerus bertambah. Hal ini berkaitan dengan teori fungsionalisme struktural, dimana masyarakat berada dalam suatu sistem yang terstratifikasi. Dapat dikatakan bahwa stratifikasi merupakan kebutuhan dari suatu sistem. Bila ada posisi yang tidak menjalankan tugasnya, maka sistem sosial akan mengalami kekacauan. Maka, keseimbangan antara peran pemerintah dan tenaga medis harus tetap ada. Keduanya harus menjalankan peranannya agar seluruh bidang kehidupan bisa berjalan dengan baik. Pemerintah tetap berfokus kepada penanggulangan perekonomian yang terguncang. Juga memberikan bantuan dan fasilitas yang memadai kepada masyarakat karena pandemi ini mengakibatkan banyak orang sulit untuk mencari nafkah dan sulit untuk menstabilkan perekonomiannya. Sementara tenaga medis berfokus kepada pengobatan dan penanganan langsung terhadap pasien COVID-19. Tenaga medis adalah mereka yang berada di garis terdepan selama pandemi COVID-19 ini berlangsung.

Selama penanggulangan COVID-19, seluruh negara bekerja sama untuk saling membantu dan menahan laju penyebaran virus corona. Hal ini seperti teori sistem yang dikatakan Niklas Luhmann, dimana secara keseluruhan dunia merupakan suatu sistem dan dunia sosial memiliki sistemnya sendiri yaitu komunikasi. Dalam hal ini, negara-negara yang terinfeksi virus corona akan terus saling berkomunikasi untuk memberikan informasi, bantuan, maupun penanggulangan bersama. Negara-negara tersebut akan saling berkontak karena sama-sama mengalami pandemi COVID-19.
Selama pandemi ini berlangsung, seluruh negara sudah sewajarnya saling membantu dan membentuk suatu jaringan sosial agar bisa sama-sama mengatasi jumlah pasien yang terus menerus naik, mengantisipasi penyebaran COVID-19, dan terus memperkuat fasilitas dan pelayanan tenaga medis dalam upaya memutus rantai pandemi COVID-19.

Oleh: Amandita Putri

Saat ini, dunia sedang dihebohkan dengan adanya pandemi baru, yaitu virus COVID-19. Seluruh dunia sudah menerapkan strategi masing-masing dalam melawan pandemi ini. Indonesia sendiri melawan COVID-19 dengan menerapkan physical and social distancing serta kebijakan “libur” agar masyarakat berada di rumah saja. Hal ini dilakukan pemerintah untuk mengurangi atau memperlambat penyebaran virus. Namun, kebijakan baru ini dihadapi oleh beberapa kesulitan, salah satunya adalah culture shock yang dialami masyarakat. Culture shock merupakan fenomena sosial yang menandai adanya perubahan sosial budaya yang terlalu cepat sehingga dapat menimbulkan konflik sosial.

Masih banyak masyarakat yang belum menerapkan physical and social distancing serta beberapa masyarakat masih berkeliaran di luar rumah. Hal ini, dapat disebabkan oleh culture shock yang dialami mereka karena kebijakan baru dari pemerintah ini, bertentangan dengan kebiasaan masyarakat. Masyarakat terbiasa beraktivitas ke luar rumah, seperti berekreasi, mudik dan pergi bekerja. Kemudian, masih terdapat beberapa warga yang pergi ke pusat-pusat keramaian untuk hangout dan berlibur meski sudah dilarang oleh pemerintah. Mereka tidak terbiasa untuk berada di rumah sehingga muncul rasa jenuh yang memicu tindakan pergi keluar rumah untuk menghibur diri. Sama halnya dengan mudik, masih banyak warga yang melakukan mudik, padahal jam operasional transportasi umum sudah dikurangi dan diperketat oleh pemerintah dengan harapan jumlah warga yang mudik berkurang atau bahkan tidak ada. Namun tetap saja, masih banyak warga yang melakukan mudik karena mudik merupakan suatu kebudayaan warga Indonesia, apalagi menjelang bulan Ramadhan sehingga sulit untuk melarang warga agar tidak melakukan tradisinya.

Selain culture shock, kebodohan juga dapat menjadi alasan mengapa masih banyak warga yang berkeliaran di luar rumah. Mereka kurang mengedukasi diri mengenai bahaya dan pencegahan virus corona sehingga pandemi dunia ini dianggap enteng. Apalagi dengan gejala-gejalanya yang sudah biasa dialami oleh masyarakat Indonesia, yaitu flu dan batuk sehingga kewaspadaan masyarakat belum tinggi.

Selain itu, terdapat masyarakat yang terlalu waspada sehingga timbul juga masalah panic buying. Hal ini juga disebabkan oleh culture shock. Mengapa begitu? Merasa kaget dan terguncang dengan kebijakan pemerintah untuk di rumah saja, banyak orang yang terlalu hati-hati sehingga pada akhirnya mereka membeli kebutuhan pokok dalam skala besar yang mengakibatkan orang lain tidak dapat memenuhi kebutuhannya. Hal ini dapat memicu konflik antara orang-orang yang panic buying dan yang tidak akibat perbedaan pendapat.

Pada akhirnya, kebijakan yang ada untuk melawan virus corona bertentangan dengan kebudayaan yang ada, seperti bekerja dari rumah, tidak bersekolah, dan mengurangi kumpul-kumpul dengan teman. Dengan begitu, pemerintah harus lebih tegas dalam menerapkan kebijakan yang telah mereka buat sehingga Indonesia dapat melewati pandemi ini dengan lancar. Kemudian, pemerintah juga harus meningkatkan sosialisasi akan bahaya dari virus corona sehingga pemahaman publik mengenai kebijakan pemerintah menjadi lebih dalam.

Oleh: G. A. A. Taurisa

Akhir-akhir ini, masyarakat Indonesia maupun dunia sedang menghadapi pandemi COVID-19. Dikarenakan pandemi ini, pemerintah Indonesia menghimbau masyarakat untuk melakukan self isolation serta social distancing untuk memutus rantai penyebaran virus tersebut. Banyak dari sekolah yang sekarang sudah melaksanakan online school dan banyak kantor-kantor yang menerapkan Work from Home atau kerja dari rumah. Pandemi Virus Corona ini menciptakan kepanikan tersendiri bagi masyarakat. Banyaknya hoax di media sosial tentang COVID-19 memicu kepanikan masyarakat. Kepanikan tersebut menciptakan sugesti bagi beberapa orang. Sugesti yang ditimbulkan dari hoax-hoax dan kepanikan tersebut membuat seseorang tidak dapat berpikir secara rasional atau kritis. Mereka yang tersugesti dan panik segera memborong kebutuhan pokok bahkan hand sanitizer dengan jumlah yang sangat-sangat banyak hingga stok nya habis dan membuat sulit orang lain yang padahal lebih membutuhkan barang tersebut.
Kemudian, perilaku self isolation selama pandemi ini cukup merugikan beberapa pihak contohnya pihak/masyarakat kelas bawah yang dari segi ekonomi kurang atau belum tercukupi. Dalam teori sosiologi, hal tersebut disebut stratifikasi sosial atau adanya kelas-kelas sosial. Bagi masyarakat kelas atas, mudah saja bagi mereka untuk mendapatkan bahan pangan dan kebutuhan lain karena mereka pasti memiliki tabungan dan gaji tetap yang besar walaupun ada kebijakan work from home. Serta masyarakat kelas atas akan lebih mudah untuk melaksanakan tes virus corona dikarenakan mereka memiliki uang. Tetapi, bagi masyarakat kelas bawah, hal tersebut tentunya merugikan. Mereka yang tidak memiliki tabungan atau mereka yang upah atau gajinya harian, tentunya akan sangat sulit untuk memenuhi kebutuhan hidup di masa isolasi dan pandemi ini. Masyarakat kelas bawah juga tentunya akan lebih sulit untuk melaksanakan tes virus corona, karena yang diutamakan pastilah orang-orang yang penting dan memiliki uang.



Pemetaan Konflik SIPABIO untuk Masalah Pandemi Virus Corona

Disclaimer: Belajar sosiologi untuk kelas XI IPS materi konflik sosial.

Sulitnya melawan virus corona pernah dibahas pada postingan sebelumnya Kajian Sosiologi: Sulitnya Melawan Virus Corona, kini kita akan membahas masalah baru yaitu penolakan warga terhadap jenazah positif virus corona di beberapa daerah. Berita ini sudah banyak dimana-mana.

Perlu respon kita sebagai pelajar ber-sosiologi menyikapi ini dengan berpikir logis dan kritis. Teknik pemetaan konflik SIPABIO (Source, Issues, Parties, Attitude/feeling, Behavior, Intervention, Outcome) (Susan, 2019). Memetakan suatu konflik sosial dari sumber sampai bagaimana upaya penyelesaian tingkat akhir. 

Saksikan tayangan video di bawah ini.


Video tersebut memperlihatkan bagaimana warga menolak ambulans yang membawa jenazah positif virus corona. Baik hidup atau mati, penderitaan mereka sebagai pasien positif tidak pernah selesai. Kita perlu meyikapi itu dengan rasional.

Silahkan simak tutorial pengerjaan di bawah ini.


setelah memahami video tersebut buatlah pemetaan konflik SIPABIO pada worksheet yang telah disediakan.

Selasa, 31 Maret 2020

Belajar Sosiologi dari Virus Corona

Kajian Sosiologi: Sulitnya Melawan Covid-19

oleh: N.H. Eddart

Materi Pokok:
Kelas X: interaksi sosial, folkways, interaksionisme simbolik, metodologi penelitian
Kelas XI: Culture shock, konflik sosial, masalah sosial
Kelas XII: Perubahan sosial dan globalisasi
Disclaimer: Artikel ini sebagai bahan belajar sosiologi selama wabah pandemi virus corona.


Pemerintah Republik Indonesia mengeluarkan kebijakan Physical and Social Distancing kepada warga negaranya agar mengurangi persebaran pasien Covid-19. Selain itu, tagar #dirumahaja banyak ditemukan di media sosial, seperti twitter, instagram, facebook, dll. Hal ini tentunya usaha pemerintah mengingatkan warganya akan pesan melawan virus corona dengan di rumah saja.

Pemerintah daerah juga melalui gubenurnya menyerukan untuk melarang para perantau yang berada di luar daerah untuk kembali ke daerah asalnya, alasan utama agar menjaga virus corona tidak terbawa dari kota ke desa. Salah satunya adalah seruan dari Gubernur Jawa Tengah yang mengungkapkan "Jika panjenengan sayang sama keluarga di kampung, jika penjenengan semua pingin keluarga tetep sehat lan slamet, urungkan niat untuk pulang kampung. Tidak usah pulang kampung," tuturnya. Selanjutnya Gubernur Ganjar melakukan kesepakatan dengan Gubernur se-Jawa, seperti yang diungkapkan dalam akun instagramnya, "Kemarin saya sudah berkoordinasi dengan Pemda DKI dan Gubernur Jawa Barat. Selanjutnya saya akan koordinasi dengan Gubernur Jawa Timur. Kita buat kesepakatan bersama untuk melarang warga pulang ke daerah asal," kata Ganjar lewat akun Instagram resmi @ganjar_pranowo, Jumat (27/3) malam.

Upaya yang dilakukan baik tingkat pusat atau daerah untuk Physical and Social Distancing nampaknya mengalami kesulitan. Tulisan ini berupaya menjawab kenapa warga masih melakukan kontak primer dengan warga yang lain? Alasan masih melakukan kontak primer dengan warga lain? Seberapa paham tentang Physical and Social Distancing atau #dirumahaja bagi warga?. Pengumpulan data ini dilakukan dengan observasi di beberapa jalan dan Stasiun Kota Bekasi dan wawancara sambil lalu dengan lokasi di salah satu perumahan di Kota Bekasi dengan lingkup satu RT dan juga dilakukan di salah satu desa di Indramayu sebagai pendukung pertanyaan ini.

Pembahasan ini tidak terpaku pada satu teori sebagai teori dasarnya, melainkan menjelaskan dari sudut pandang sosiologis. Perlu diketahuai bahwa kontak primer adalah hubungan individu dengan individu lain secara face to face, terlihat fisiknya secara langsung tanpa perantara, dan melihat mimik komunikasi secara verbal atau non-verbal. Sedangkan Physical and Social Distancing adalah pembatasan jarak fisik dan sosial satu sampai dua meter dikerumunan, antrian, atau komunikasi. Bisa juga diartikan sebagai jaga jarak aman antarorang saat berkumpul. Kemudian arti #dirumahaja adalah berdiam diri di rumah dengan tidak ke sekolah, ke tempat kerja, ke tempat ibadah, dan pusat-pusat keramaian.

Penjelasan di atas nampaknya sudah cukup jelas, tapi kenapa warga masih melakukan kontak primer? Jawaban-jawaban tersebut terangkum di bawah ini berdasarkan observasi dan wawancara sambil lalu.
1   
    1. Folkways (Kebiasaan)
Kebiasaan dalam arti suatu nilai dan norma sosial yang berasal dari rutinitas yang mengarah ke tradisi adat istiadat. Hal ini banyak ditemukan di masyarakat kita, penulis kategorikan ini ke dalam folkways yang tersusun ke beberapa sub-sub folkways yang sering dijumpai oleh masyarakat kita. Sub-sub folkways tersebut adalah:

Midang sebagai aktivitas nongkrong depan rumah baik di teras rumah, bangku depan rumah, atau warung yang rumahan. Selama melakukan pengamatan seporadis di wilayah Bekasi pada tanggal 23 Februari-29 Maret 2020 banyak orang-orang yang masih nongkrong. Mereka umumnnya adalah bapak/ibu serta anak-anaknya masih balita. Ini aktivitas yang menjadi kebiasaan masyarakat, duduk depan rumah baik di teras atau bangku, bahkan di warung rumah sambil ngobrolin tetangganya, harga belanjaan, kerjaan bahkan virus corona itu sendiri, mereka tetap saja nongkrong. Sulit hal ini dihilangkan karena telah menjadi folkways selama bertahun-tahun di kita. Sebenarnya mereka mengetahui informasi beredarnya virus corona akan tetapi aktivitas midang depan teras justru sebagai wahana interaksi sosial untuk membahas virus itu tersebut. Midang juga ditemui pada masyarakat Bulak, Jatibarang, Indramayu yang masih suka berkumpul depan rumah sambil menggelar tikat dan menonton TV. Padahal juga yang ditonton itu adalah berita terkait virus corona.

Namaste Handshake pengganti saliman, muncul selebaran juga akan mengganti gaya jabat tangan dengan cara salam Buddha, kedua telapak tangan kita disatukan tegak ke atas. Ini menggantikan gaya salaman yang selama ini dilakukan oleh orang kita. Salim kepada orang lebih tua, mencium tangan memang sudah menjadi kebiasaan. Jika hal ini kemudian diganti, mungkin hanya orang tertentu yang menyepakati cara Namaste handshake ini, tapi bagi orang yang tidak mendapatkan sosialisasi tentang Namaste handshake mereka akan tetap mencium tangan saat shalat dan ketemu. Kebanyakan orang lebih menerima saliman ketimbang Physical and Social Distancing.

Jalan-jalan selayaknya Ngabuburit, istilah ngabuburit memang sering muncul saat bulan puasa, tapi aktivitas ini sebenarnya tidak hanya dilakukan saat bulan puasa. Hari-hari biasa mereka suka jalan-jalan di sore hari hingga malam hari. Penulis melakukan pengamatan selama wabah virus corona ini, waktu yang diamati saat weekend, di area keramaian seperti Marakash, Pasar Kranji, Pasar Tradisional blok A, F, dan sepanjang jalan saat pulang kerja. Untuk membedakan mereka jalan-jalan dengan orang yang pulang bekerja nampak terlihat jelas dari pakaiannya, mereka yang jalan-jalan sore tidak mengenakan helm, baju santai, dan biasanya membawa anak kecil. Jajanan pinggir jalan masih jualan seperti martabak, kopi, gorengan, aneka es kekiniaan, bahkan odong-odong. Ketika mereka jalan-jalan kemudian berhenti di tempat jajanan yang bergerombol dengan jarak kurang dari satu meter serta mainan odong-odong anak kecil yang bermain sedangkan orang tuanya menunggu dekat dengan mainan dan terjadi kontak primer. Aktivitas ini bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah adalah folkways, sulit untuk mereka hindari, apalagi di kota Bekasi yang banyak perantauan ngontrak atau tidak memiliki rumah tetap. Mereka yang jenuh dengan tempat tinggalnya akan menghiburkan diri dengan jalan-jalan sore sambil mencari jajanan dan momong anak.

Liburan ke kampung alias mudik, ketika DKI Jakarta mengumumkan untuk merumahkan sekolah dengan sistem belajar daring, wilayah satelit DKI Jakarta juga mengikuti hal yang sama di hari berikutnya, banyak perantauan yang pulang kampung. Sejauh pengamatan penulis selama aktivitas belajar daring, banyak tukang mie ayam, bakso, warung nasi, dan warung rumahan kecil depan kontrakan mereka tutup. Penulis punya langganan mie ayam asal Wonogiri. Dia tutup usaha mie ayam lebih memilih pulang kampung karena anaknya juga libur (belajar online). Walaupun tidak banyak warung yang meliburkan diri, tapi aktivitas yang terlihat langsung adalah di stasiun kereta api Bekasi. Penulis saat itu, tanggal 20 Maret 2020 bertanya kepada teman yang ingin naik kereta api tujuan Jatibarang. Selama pengamatan di stasiun Bekasi penerapan Physical and Social Distancing dilakukan dengan baik oleh manajemen stasiun. Seperti tempat duduk yang berjarak, garis antrian berjarak, dan pengecekan suhu tubuh. Jumlah orang yang menaiki kereta Argo Cheribon KA 30 hari jumat itu tidak berkurang, awal penulis menduga akan ada pengurangan penumpang kereta, faktanya tidak ada bangku kosong. Dilihat dari penumpang, sepertinya mereka anak-anak muda. Dugaan, mereka adalah mahasiswa perantauan. Tapi yang jelas aktivitas mudik terjadi lebih awal, menurut Gubernur Jawa Tengah per 26 Maret 2020 ada 66.871 orang pemudik dari berbagai provinsi yang pulang ke Jateng. Wonogiri menjadi wilayah dengan pemudik terbanyak, yakni 42.838 orang. Begitu juga yang disampaikan oleh Presiden Joko Widodo di istana Negara Senin (30/3/2020) "Selama delapan hari terakhir ini ada 876 armada bus antarprovinsi yang membawa kurang lebih 14.000 penumpang dari Jabodetabek ke Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DIY," kata Jokowi dalam rapat terbatas di Istana Kepresidenan, Jakarta.

Apakah agenda mudik akan dilarang atau akan tetap mudik? Penulis melakukan wawancara sambil lalu di komplek perumahan, menurut Bang Gondrong pekerjaan servis AC akan tetap melakukan mudik. Kemudian Pak Bari pekerjaan sebagai OB sekolah sudah mudik dengan seluruh anggota keluarganya tanggal 29 Maret 2020 dengan dilengkapi surat keterangan sehat dari klinik. Kemudian pedagang kelontong asal Madura, dia mengatakan jika mudik dari Bekasi ke Madura bisa, justruk sebaliknya dari Madura tidak bisa keluar. Berdasarkan data berita yang ada, historis setiap tahun tentang mudik, dan folkways arus mudik ini akan tetap berlangsung meskipun transportasi umum seperti kereta api, bus, pesawat, dan kapal laut dibatasi. Diperketat juga dengan operasi polisi di perbatasan, walaupun ada patroli perbatasan, banyak jalanan yang akan ditembus oleh pemudik ini. Bahkan yang sulit diatur adalah pemudik roda dua yang sudah biasa mencari jalan tikus, ke depan yang terjadi malah kejar-kejaran antara polisi dan pemudik.

Sub-sub folkways di atas yang menjadi inti pikiran masyarakat tersebut adalah adanya vested interest masyarakat, tertanam kuatnya nilai-nilai leluhur dan pola pikir konservatif masyarakat yang sulit berubah. Jika pemerintah Indonesia bersikeras untuk kampanye melawan virus corona dengan cara Physical and Social Distancing dan #dirumahaja akan mengalami culture shock, sama halnya perubahan cepat yang menimbulkan konflik sosial, sama halnya dengan melawan tradisi itu sendiri yang sulit diubah.

2. Pekerjaan
Alasan lain program #dirumahaja sulit dilakukan adalah pekerjaan. Pekerjaan yang tidak bisa ditinggal dan tidak bisa dilakukan dirumah menjadi alasan orang-orang ini tetap melakukan kontak primer. Bagian ini dirangkum menjadi beberapa pekerjaan yang dapat dilakukan dan tidak dapat dilakukan selama melakukan pengumpulan data.

Operator Bensin SPBU, penulis mewawancara orang yang bekerja di pom bensin, dia bilang jika pekerjaan #dirumahaja maka dia akan melayani siapa?, tentunya bos pom bensin tidak akan bisa menerapkan ini #dirumahaja tetapi akan tetap bekerja di pom bensin.
Bengkel motor, pekerjaan ini juga sulit dilakukan di rumah sehingga setiap harinya harus membuka bengkel, apalagi bengkel tersebut merupakan milik sendiri, jika tidak buka sama halnya tidak bisa makan.
Tukang Ojek Becak, Mang Kus ialah tukang becak yang sehari-hari melayani rute ke pasar tradisional, penghasilan utamanya adalah tukang becak dan kuli panggul di pasar. Selagi pasar masih buka, maka dia akan tetap berangkat bekerja di pasar.
Servis AC, Bang Gondrong berprofesi sebagai tukang servis AC, selama wabah corona dia hanya menunggu panggilan untuk service AC. Ketika terjadi panggilan maka harus menuju lokasi untuk bekerja.
ASN/PNS/Pegawai Swasta, Kebetulan yang diteliti di wilayah Jawa Barat. Ketika peneliti bertanya tentang #dirumahaja jenis profesi ini dapat Work From Home #WFH, tetapi ia mengeluhkan jika gajinya harus terpotong. Begitu juga guru swasta, harus menerima transportasi tidak disertakan dalam gaji.
Tukang ketoprak, setiap pagi sering membeli ketoprak yang keliling depan rumah, pedagangnya berasal dari Brebes usia sekitar 45 tahun. Sambil melayani pembuatan ketoprak peneliti melakukan wawancara sambil lalu. Dia menyampaikan bahwa pemasukan berkurang, semisal adanya kompleks yang melarang pedagang masuk, tidak dapat pulang kampung juga karena segmentasi pasarnya ada di Bekasi bukan dikampung.
Tukang Galon, sejauh ini sektor penjualan air galon masih seliweran di komplek rumah. Tidak banyak yang ditanyakan karena mereka berhenti ketika ada pembeli. Tukang galon masih dibutuhkan oleh konsumen sehingga pekerjaan ini harus tetap jemput bola. Walapun depot air sebenarnya ada di rumah.
Maintenance Apartemen, ia tetangga rumah. Ketika wawancara sambil lalu ia masih harus bekerja tapi memiliki jadwal shift harian, misalnya tiga hari bekerja, tiga hari libur. Bahkan, manajemen sudah menyiapkan jika pegawainya mau menginap telah disediakan menu-menu kebutuhan pokok di pantry agar betah bekerja. Sektor ini sebenarnya harus standby tidak selalu bekerja, tapi butuh perwakilan pegawainya tetap bekerja untuk memastikan pelayanan apartemen tetap berjalan.

Jenis-jenis pekerjaan di atas adalah bagian kecil dari seluruh pekerjaan yang ada. Ada profesi yang dapat #dirumahaja ada pula profesi yang harus bekerja sesuai lokasi dan sektornya. Pandangan secara kesehatan memang #dirumahaja adalah solusi untuk menekan penyebaran virus corona. Berbeda dengan pandangan secara sosiologi karena masyarakat memiliki elemen-elemen yang harus berfungsi sebagaimana mestinya untuk dapat menopang elemen yang lain agar terciptanya keteraturan sosial. Kondisi seperti ini jika semakin parah, terjadi masalah sosial yang disebabkan struktur fungsional yang tidak berjalan. Mereka diminta untuk #dirumahaja tanpa pemasukan bagi mereka yang tergerus ekonominya, sedangkan jargon-jargon pemerintah, media, dan saudara-saudaranya ikut mengkampanyekan #dirumahaja. Ini sama halnya pertarungan mati karena virus corona dan mati karena kanker (kantong kering).

3. Kepedulian Kesehatan
Bagian ini dibahas secara sosiologis, bukan secara teori kesehatan masyarakat. Historis virus corona berasal dari Wuhan, Hubei, China yang muncul akhir tahun 2019 dan awal tahun 2020 telah ditemukan namanya SARS Cov-2. Berita menyebarnya virus corona sangat cepat ke seluruh dunia. Kenapa ini terjadi sangat cepat? Jawaban sosiologisnya adalah globalisasi. Globalisasi adalah suatu hubungan tanpa batas Negara sehingga arus informasi dan transportasi dapat mempercepat ruang dan waktu. Produk globalisasi selain teknologi, investasi, dan gaya hidup, ternyata juga bisa mengirim virus dengan cepat.

Informasi yang didapat di Indonesia tentang keadaan Wuhan menjadi berita harian yang laris, muncul di media sosial instagram, facebook, dan mungkin juga tiktok. Selebaran-selebaran kampanye kesehatan terjaga dari virus corona tersebar juga melalui media. WHO kemudian ikut-ikutan sibuk meneliti virus corona, baik dengan nama nCov dan Covid-19 hingga ketemu nama aslinya SARS Cov-2. Di Indonesia, sempat direcoki oleh WHO yang mempertanyakan kenapa tidak ada pasien positif corona? Apakah sistem peringatan dini dan sensor panas di setiap gerbang masuk Republik Indonesia ini tidak standar WHO?. Banyak yang mempertanyakan Indonesia yang belum terdapat pasien positif. Padahal di saat itu, wilayah Bekasi dan sekitarnya sedang musim hujan dan kadang panas terik. Penyakit musiman muncul seperti batuk, pilek, dll.

Gejala pengidap virus corona mirip dengan penyakit pancaroba yang menjadi penyakit langganan warga kita. Masyarakat kita di musim pancaroba yang terkena batuk dan pilek tidak pernah terhindar dari penyakit ini. Bagi mereka tanda-tanda ini sudah biasa sebagai pergantian musim. Sehingga setiap tahun mereka cuek dan minum obat-obatan warung baginya sudah cukup. Ketika batuk dan pilek, hanya orang yang memiliki pengetahuan kesehatan tinggi atau level tinggi yang sadar dengan cara bersin dan batuk. Menutup mulutnya, pakai tisu, dan menggunakan masker. Tapi lihat mayoritas kita, apakah mereka seperti itu? Kenyataanya cuek dengan batuk dan pilek.

Akhirnya, Pasien 01 dan 02 yang merupakan ibu dan anak terkonfirmasi positif corona. Muncul masalah sosial baru, mendadak orang-orang berbelanja masker, hand sanitizer, dan jahe. Jahe muncul sebagai produk yang sulit dicari dan harganya mahal. Jahe dibuat minuman berkhasiat untuk mengobati batuk, pilek, sakit tenggorokan, dan stamina pria dewasa. Secara sosiologis, jahe adalah interaksionisme simbolik dari angkringan yang terdapat pada menu susu jahe, menu pelengkap interaksi sosial. Tentunya social distancing di angkringan tetap berjalan, tapi penjual jahe siap saji tergolong banyak yang memudahkan konsumen untuk membelinya dan terjadi kontak primer. Termasuk dapat dibeli di tukang jamu keliling atau offshore dengan menu empon-empon. Di pasar jahe dijual mudah sekali, bisa di dapat pada saat berbelanja bumbu dapur. Artinya harga jahe mahal karena peminat naik, itu juga artinya bahwa kepedulian masyarakat akan kesehatan cukup baik dengan pendekatan kultural.

Kesimpulannya, melawan virus corona sama halnya melawan folkways orang kita, membatasi orang bekerja untuk kerja di rumah tidak semudah merumahkan pekerjaan sekolah, dan mengingatkan akan arti pentingnya jaga kesehatan harus dilihat terlebih dahulu sistem pengetahuan dan latar belakang pendidikan masyarakat kita. Virus corona akan segera berlalu memperbaiki keadaan sosial, ekonomi, dan kesehatan kita semua. Tapi apakah virus corona akan menjadi bagian dari hidup kita seperti virus-virus terdahulunya (semisal, HIV, H5N1, Malaria, Cacar, dll) atau bersih total tidak ada virus corona di dunia ini lagi.

Demikian tulisan ini dibuat untuk belajar secara sosiologi kepada siswa siswi, memandang virus corona dari mikroskop sosiologi, dan mempelajari kepekaan kita terhadap masyarakat yang dinamis. Penulis yakin masih terdapat kekurangan dalam tulisan ini dan penulis mengucapkan terima kasih telah membaca sampai titik terakhir tulisan ini.

Statistik Pengunjung

Socio Education

Merupakan Weblog tentang seputar materi ilmu sosial sebagai penunjang dan pelengkap edukasi.

  © Design Blog 'Ultimatum' by Socio Education 2020

Back to TOP