Konflik Bermula dari Stratifikasi Etnik
Penduduk Poso terkenal sangat heterogen, suku Pamona sebagai suku pribumi dari Tanah Poso mendominasi dalam berbagai aspek sosial ekonomi maupun politik namun masuknya para pendatang membuat stratifikasi di Poso semakin jelas terlihat. Para pendatang pada umumnya beragama muslim dan protestan yang berasal dari Jawa, Bali, Sulawesi Selatan maupun Sulawesi Utara dan Gorontalo. Pendatang Muslim umumnya berasal dari arah Selatan, yaitu suku Bugis yang telah bermigrasi sejak masa pra-kolonial, maupun suku Gorontalo dari arah Utara. Karena itu, wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta Pamona Selatan cukup banyak desa-desa Kristen dan desa-desa Islam berselang-seling dan bertetangga di satu pihak sedangkan wilayah Pamona Utara sampai dengan wilayah yang berbatasan dengan wilayah Poso Pesisir dan Kota Poso serta ke Barat dengan wilayah Lore Utara dan Lore Selatan yang sangat didominasi oleh mayoritas Kristen. Jadi secara geografis, umat Kristen yang mendiami bagian tengah (dalam) dari wilayah Poso terjepit baik dari arah Utara maupun Selatan dimana proporsi umat Islam semakin besar mendekati proporsi umat Kristen.
Pendatang umumnya lebih kuat dalam perebutan lahan dan ekonomi. Tanah pribumi banyak yang dijual ke para pendatang sehingga akta tanah dari pribumi beralih ke para pendatang. Tanah perkebunan seperti coklat dan kelapa tentunya mendapatkan keuntungan besar bagi para pendatang, namun pribumi juga sebagian masih memiliki perkebunan coklat dan kelapa akan tetapi dalam hal pemasaran masih kalah dengan pendatang. Penduduk asli merasa dirugikan dengan keadaan tersebut dilihat dari dua hal yaitu pertama, lahan pertaniannya sebagian telah beralih kepemilikannya kepada pendatang. Kedua, margin yang diperoleh dari hasil pertanian lebih besar dinikmati oleh para pendatang. Hal itulah yang memicu stratifikasi etnik pendatang dan pribumi.
Terdapat tiga stratifikasi dalam konflik Poso tersebut dalam sosiologi stratifikasi etnis menurut Noel (1968), startifikasi etnik dapat terjadi berdasarkan tiga prasyarat yakni :
Etnosentrisme, Persaingan, dan Perbedaan kekuasaan
Ketiga prasyarat tersebut tidak bisa dipisahkan karena apabila ada salah satunya yang tidak terpenuhi, startifikasi tidak akan terjadi.
Etnosentrisme merupakan suatu paham yang menganggap kelompoknya sebagai kelompok terbaik atau spesial yang memiliki hak dan kekuasaan tertinggi. Dalam hal konflik Poso, penduduk asli Poso menganut etnosentrisme dan menganggap etnisnya sebagai yang terbaik jika dibandingkan dengan pendatang. Faktor kedua yang menjadi prasyarat stratifikasi etnik adalah persaingan. Di Poso terdapat persaingan dalam hal ekonomi terutama dalam perdagangan. Penduduk asli Poso merasa termarginalisasikan oleh penduduk pendatang, karena perdagangan lebih dikuasai oleh para pendatang yang mayoritas beragama Islam. Prasyarat terakhir stratifikasi etnik adalah perbedaan kekuasaan. Maksudnya adalah penguasaan sektor-sektor politik yang strategis oleh para pendatang di Poso. Partai yang memenangi pemilu adalah Golkar yang anggotanya didominasi oleh pendatang.
Pergeseran Pribumi Poso yang Mayoritas ke Minoritas
Suku Pamona sebagai pribumi asli Poso yang mulanya sebagai kelompok mayoritas karena memiliki tanah dan menguasai perdagangan namun setelah adanya arus migrasi masuk yang cukup deras terjadi semenjak dasawarsa 1970-an dan 1980-an dimana program transmigrasi dilakukan dan dibukanya jalur prasarana angkutan darat, Trans-Sulawesi, pribumi Poso menjadi termarjinalkan. Masuknya para pendatang ini dari Jawa, Bali, Sulawesi Utara, maupun Sulawesi Selatan menggeser pribumi Poso yang mulanya mayoritas menjadi kelompok minoritas. Konsep mayoritas sering dihubungkan dengan dominan culture. Kelompok yang mendominasi beberapa sektor penting dalam kehidupan. Kelompok kebudayaan dominan memiliki kekuasaan, uang, sumber daya alam, pemilikan media massa, sekolah, universitas, dan peran dalam pemeritahan. Sehingga bagi mereka nilai-nilai persaingan, individualisme dan kebebasan tidak berarti apa-apa.
Mayoritas dan minoritas di dalam kajian sosiologi tidak selalu mengacu dari segi jumlah, tetapi merujuk pada sebuah kelompok yang memiliki kekuasaan tatanan atau yang sangat berpengaruh dalam masyarakat. Kelompok mayoritas mempunyai karakteristik hanya merekalah yang superior terhadap kelompok etnik yang dijadikan inferior. Bagi pribumi Poso mengklaim bahwa para pendatang tersebut dikatakan sebagai kelompok minoritas, yang datang dari luar daerah. Mereka (Pribumi Poso) percaya bahwa karena kelompok minoritas secara alamiah berbeda maka mereka harus dipisahkan bahkan disingkirkan. Mereka percaya bahwa kaum mayoritas (dalam hal ini Pibumi Poso) yang paling berhak sehingga mereka pun mengklaim bahwa mereka yang paling berkuasa, mempunyai status sosial yang tinggi, dan memiliki harga diri yang harus dihormati. Mereka juga memiliki rasa takut dan selalu curiga bahwa kelompok minoritas selalu berencana menggrogoti faktor-faktor yang menguntungkan kelompok dominan.
Deklarasi Malino Bentuk Akomodasi Konflik Poso
Kekerasan yang terjadi di Poso banyak mengundang perhatian masyarakat Indonesia, banyaknya korban jiwa yang di alami dari masing-masing pihak ternyata mendorong untuk mengadakan bentuk perdamaian yang diadakan di Malino, Kecamatan Tinggimoncong, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan yang dinamakan “Deklarasi Malino”. Deklarasi tersebut diadakan pada tanggal 18-20 Desember 2010 yang tidak lepas dari inisiatif lokal yang tulus dan kuat untuk menghentikan siklus kekerasan di Poso. Penyatuan etnis yang berkonflik tersebut dalam kajian sosiologi termasuk dalam hubungan antarkelompok berbentuk akomodasi. Akomodasi merupakan keadaan hubungan antar etnik atau ras yang seimbang dalam proses kerjasama antar budaya. Akomodasi merupakan suatu proses penyesuaian sosial dalam interaksi sosial antara pribadi dan kelompok-kelompok manusia untuk meredakan pertentangan. Sikap saling menghormati antar masing-masing pihak yang bertikai di Poso merupakan proses penyesuaian dari beberapa pihak. Pada awalnya pemimpin agama Kristen dari suku Pamona terlebi dahulu untuk mengajukan perdamaian dengan melobi pemerintah pusat, hal ini suatu paksaan keinginan dimana perbedaan status atau kedudukan untuk melakukan perdamaian dengan pihak islam. Akomodasi dapat juga dilakukan melalui paksaan dimana perbedaan status, kedudukan, posisi atau stratifikasi sosial antar etnik dominan (power) memaksa kelompok etnik subdominan. bentuk lunak paksaan adalah konsiliasi dimana terdapat kesempatan setiap etnik untuk menyampaikan faktor-faktor yang dipertentangkan untuk dirundingkan bersama sebagai keputusan yang akomodatif. Pertemuan dengan Menko Kesra dan Menko Polkam ternyata mendapat kemajuan untuk perdamaian Konflik Poso, pemerintah pusat menfasilitasi dengan mempertemukan kedua belah pihak untuk saling mengajukan faktor-faktor yang dipertentangkan.
Dalam kasus konflik Poso ini termasuk dalam hubungan antarkelompok bentuk mediasi dimana kelompok yang berunding menentukan pihak ketiga yang dianggap netral untuk menyelesaikan pertentangan antar etnik.
Tujuan akomodasi:
1.Mengurangi pertentangan atau konflik
2.Kebutuhan atau keinginan hidup bersama
3.Menciptakan kerjasama antar atau lintas etnik
Terdapat
tujuan penting secara akomodatif untuk mengurangi pertentangan atau
konflik yaitu dari isi deklarasi damai Malino ini disebutkan bahwa
kelompok Muslim dan Kristiani dengan hati lapang serta jiwa terbuka
sepakat menghentikan semua bentuk konflik dan perselisihan. Mereka juga
wajib mentaati semua bentuk dan upaya penegakan hukum dan mendukung
pemberian sanksi hukum kepada siapa saja yang melanggar serta meminta
aparat negara bertindak tegas dan adil untuk menjaga keamanan. Guna
menjaga agar suasana damai, mereka menolak pemberlakuan keadaan darurat
sipil dan campur tangan pihak asing. Mereka sepakat menghilangkan semua
fitnah dan ketidak-jujuran terhadap semua pihak dan menegakkan sikap
saling menghormati dan memaafkan satu sama lain, demi terciptanya
kerukunan hidup bersama. Disepakati juga tentang kebutuhan hak hidup
bersama di Poso yang tersirat dari adanya pernyataan bahwa Poso adalah
bagian integral dari NKRI, karena itu setiap warganegara memiliki hak
untuk hidup, datang dan tinggal secara damai serta menghormati
adat-istiadat setempat. Semua hak dan kepemilikan harus dikembalikan
kepada pemilik yang sah sebagaimana sebelum konflik dan perselisihan
berlangsung.