Oleh: Putu A. Premadhitya*
Rabu, 11 Oktober 2017 merupakan hari yang penuh canda
di SDN Bejalen, Ambarawa. Hari itu, murid-murid SMA Global Prestasi bertandang
ke sana membawa sepaket alat tulis dan berkantung-kantung hadiah. Tujuannya,
sudah jelas berbagi ilmu dari empat mata pelajaran – matematika, Bahasa
Inggris, Bahasa Indonesia, dan musik. Sejak upacara penyambutan di pagi hari,
anak-anak itu sudah antusias. Ada yang lompat-lompat di barisan demi melihat
perawakan calon “guru” sehari mereka yang badannya tinggi-tinggi. Ada yang
saking semangatnya sampai bergoyang-goyang dan menunjuk-nunjuk kami, padahal
dia berada di barisan paling depan – diiringi gelak tawa.
Saya sendiri tergabung dalam kelompok yang mengajar
kelas 6, dengan spesifikasi subjek Bahasa Inggris. Bersama dua orang teman –
Judith dan Toni – saya masuk ke kelas pukul 11.30. Lucunya, saya dan rekan
sempat mengadakan perkenalan di sesi yang seharusnya milik kelas IPA karena
saya sudah nongkrong duluan di depan
kelas, sembari meminta mereka untuk tertib menunggu. Mereka malu-malu membalas
pertanyaan kami akan nama dan cita-cita. Banyak yang mengaku ingin menjadi marinir,
guru, sampai TNI. Kami sudah melakukan interaksi – kontak dan komunikasi – jadi
pada giliran sesi milik kelompok saya, anak-anak itu sudah menghapus wajah
tegang mereka.
Kami tidak memiliki pengalaman mengajar secara
profesional sama sekali, padahal harus mengajarkan suatu materi yang menurut
saya cukup sulit. Sesuai dengan konsep sosiologi tentang imitasi, maka saya harus melakukan imitasi. Syarat-syarat imitasi menurut Dr. A.M.J Chorus: Pertama, adanya minat atau perhatian terhadap obyek (subyek) yang akan ditiru. Kedua, adanya apresiasi, mengagumi, menghargai. Ketiga Pengertian/pemahaman akan sesuatu yang akan ditiruAlhasil, kami mengimitasi guru bahasa kami – mengikuti teori
sosiologi dari Dr. A.M.J Chorus yang mengatakan bahwa kami harus berminat dan
memahami hal yang akan ditiru – jelas, karena kami ingin dihargai oleh
anak-anak di dalam kelas itu.
Kami meniru sapaan dan postur, namun lain halnya
dengan gaya mengajar. Jadi ya, kami tidak sepenuhnya meniru. Bu guru bahasa
kami saat mengajar posenya bak seorang pramugari, sehingga saya dan Judith
ikut-ikutan berdiri seperti itu. Bu guru juga sudah memberikan pengarahan
sebelum memulai kelas yang kami jadikan patokan dalam berperilaku.
Saya dan teman-teman cenderung memberikan materi
lewat games, supaya mereka bisa
mengimplementasikan kata-kata yang kami berikan dalam kalimat-kalimat sederhana
yang mereka mengerti. Permainan pertama adalah Kuda Bisik, dimana mereka harus melakukan interaksi dengan teman
mereka. Mengontak dengan mencolek, berkomunikasi dengan memberi informasi
kalimat. Sesekali terdengar balasan dari temannya, “Hah? Barusan kau bilang
apa?”
Mereka bekerja sama sembari berkompetisi demi
mendapatkan hadiah dari kami. Seperti dikutip dari kata-kata Charles H. Cooley,
kerja sama timbul apabila seseorang (anak-anak) menyadari dirinya mempunyai
kepentingan atau tujuan yang sama dengan orang lain (temannya). Saya senang
sekali, anak-anak ini bermain secara sportif dan kompetitif. Biasanya kalau di
sekolah-sekolah kota, bukannya berbisik malah teriak-teriak. Sangat bertolak
belakang dengan anak-anak itu.
Gambar di samping ini punya cerita yang lucu. Judith
mengajak anak-anak itu bermain Simon Says,
sebuah permainan yang mengharuskan mereka bergaya sesuai instruksi. Lucu sekali
melihat anak-anak itu tersugesti – mereka langsung menerima pernyataan dari
Judith! Makanya, karena tidak berpikir panjang, banyak deh anak-anak yang salah dan dihukum joget di depan kelas.
Saya senang sekali melihat mata anak-anak itu
berbinar-binar melafalkan kata dalam Bahasa Inggris, dan betapa mereka senang
mengobrol dengan saya. Ada satu anak yang mengajak berfoto, namanya Ndaru. Dia
anak yang jogetnya paling heboh, dan paling semangat menjawab soal. Ada lagi
Dimas, yang sepertinya paling pintar berbicara dalam bahasa asing ini. Kekehan
mereka saat mendengar saya berbicara kepada mereka dalam bahasa Jawa – mungkin
menurut mereka aneh ya, orang kota ngomong
bahasa daerah – padahal darah Solo mengalir dalam diri saya.
Intinya, satu jam penuh bersama mereka
mengajarkan saya satu hal: berbagi itu mudah. Jauh lebih mudah dibandingkan
mengerjakan soal ulangan sejarah di hari Rabu. Apalagi berbagi bersama anak-anak
itu, yang sudah terasa seperti adik sepupu saya yang masih kecil-kecil. Semoga
saya bisa bertemu mereka lagi, menepati pesan mereka yang meminta saya untuk
kembali.
*Penulis adalah siswi kelas X IPS 1 SMA Global Prestasi, Bekasi.