Diatas pesawat terlihat pulau-pulau yang masih tumbuh hutan lebat dan pesisir pantai yang hijau dan biru muda, pasir nampak putih membatasi antara lautan dan daratan Kepulauan Anambas.
Sesampai kuinjakkan
kaki ditanah Tarempa pusat kota di Kabupaten Kepulauan Anambas yang ramai dengan
pompong (transportasi laut) dan speed boat transportasi laut modern
dengan tenaga mesin yang bisa melesat cepat. Selain dua transportasi laut
tersebut ada juga motor yang oleh warga disebut “Honda” merupakan kendaraan
yang sering digunakan. Selain itu tidak terlihat kendaraan pribadi lain seperti
halnya mobil. Ada mobil juga itu hanya milik Pemerintah Kabupaten Kepulauan
Anambas, Pengadilan Agama, dan ambulans.
Aku disambut oleh
Meila tim Labsos dan Bu Acim (kepala PAUD) di pelabuhan. Tidak menunggu lama
aku bersama Pak Ubedilah, Pak Roni, Meila dan Bu Acim menuju ke Desa Rintis di
kediaman Teteh Isye (Ketua Yayasan PAUD dan pemilik rumah yang mengijinkan
rumahnya ditinggali). Perjalanan untuk mencapai ke Desa Rintis penuh jalanan
yang terjal dan tinggi. Dan jaraknya lumayan jauh, memang tidak ada penjelasan
berapa kilometer. Tapi kalau naik motor dengan kecepatan 20-35 km/jam dapat
ditempuh selama 20 menit. Itu juga jalanan naik turun. Walau jalanannya sudah
beraspal tapi tetap saja ada bagian yang masih bertanah.
Sesampai dirumah
teteh Isye ponsel tidak ada sinyal dan tidak ada aliran listrik disini, pikir
pasti jenuh disini. Jam tanganku menunjukan pukul 13.00 wib, Kata Teteh Isye
masih ada 5 jam lagi untuk ada aliran listrik, karena disini listrik masih
menggunakan diesel dan jadwalnya dari jam 6 sore sampai jam 10 malam. Padahal
di kota masih ada sinyal dan listrik, tapi di desa ternyata listrik tidak ada
dan sinyal pun tidak ada. Sehingga ponselku dinonaktifkan dan bersabar untuk
bisa menghubungi orang-orang tercintai di pulau Jawa.
Lanjut setelah
beristirahat sejenak, berkenalan dan berbincang-bincang, kita makan. Makanan
disini selalu ditemani dengan ikan laut, pertama dengan cumi, lanjut ikan
tongkol, ikan minyak, ikan simbok, dan menu lainnya seperti telor. Yang menjadi
ciri setiap makan yaitu ada teh manis hangat (teh O) yang dihidangkan. Rasanya
khas pulau Anamabas yaitu ada rasa cengkehnya dan kadang rasa cengkeh itu
begitu terasa sehingga sedikit pahit. Yang paling kusukai ketika makan disini
yaitu dengan cumi hitam alias blekutak. Memakan
cumi hitam teringat di kampungku, Indramayu. Aku makan sehari 3 kali dengan
lauk yang sehari sama, dan ada cerita yang lucu, yaitu ketika tukang sayur dan
tukang pedagang ikan tidak lewat rumah maka tidak ada masakan. Ujung-ujungnya
mie rebus lagi.
Ditengah-tengah
masyarakat ku sebagai publik figure
yang selalu bersinar bagi mereka, kadang ada yang minta pendapat untuk kemajuan
desa ini. Di kedai sempat berdiskusi dengan mantan Kepala Desa Rintis Bapak
Sutisna membahas desa yang diujung pulau ini. Ilmuku tidak terlalu banyak untuk
memajukan desa yang besar ini tapi ku maksimalkan dengan semampuku. Di kedai
inilah ku dapat berinteraksi dengan warga untuk bersosialisasi.
Keseharianku
bertemu dengan guru-guru PAUD dan anak-anak PAUD Kurnia, banyak pengalaman yang
didapat dari mereka dan banyak pula pelajaran yang bertambah bagiku. Anak-anak PAUD begitu senang terhadapku,
malah banyak yang berebut ingin disampingku, maklum aku guru satu-satunya yang
lelaki sehingga paling tampan diantara guru-guru lain. Aku selalu menghibur
mereka dengan ice breaking ala kota
Jakarta, mereka pun riang. Sampai ku kehabisan ide untuk menghibur mereka
kembali. Siangnya, ku mengajarkan guru-guru untuk membuat Rencana Kegiatan
Harian (RKH) dan mengajarkan untuk mengoperasikan komputer, lucu tapi kadang
kesel juga karena guru-guru lupa melulu apa yang kuajarkan. Dan ku maklumi
karena mengajari yang usia lanjut.
Di PAUD inilah ku habiskan paruh hari dan
menghilangkan ingatan akan rindu dengan orang-orang di Jakarta. Menjadi seorang
guru PAUD tidaklah mudah, butuh kesabaran yang super apalagi dengan
anak-anaknya yang kadang susah diatur. Kalau disuruh belajar malah main-main
seperti Rara dan Ridho, dua anak itu yang tak kulupakan.
Banyak hal yang
ingin kuluapkan dalam tulisanku ini, pertama ingin ku sampaikan keadaan ekonomi
disini sangat tinggi, harga melambung 2 sampai 4 kali lipat dari harga yang ada
di Jakarta. Harga tomat satu buah bisa mencapai Rp. 5000,. Dan sayur sawi satu
ikat di Jakarta bisa Rp.1000,. tapi disini harganya mencapai Rp.5000,. mie
rebus Rp.7000., bakso Rp.10.00,. teh manis dan kopi Rp.4000 jika dikasih es
harganya ditambahkan seribu sampai duaribu. Dan harga bensin untuk motor harganya
bisa Rp.10.000-15.000,. tergantung persediaan dan distrubusi.
Dari beberapa
wawancara sambil lalu dengan masyarakat Desa Rintis ini banyak disebabkan
karena kebutuhan pokok tersebut berasal dari luar pulau misalnya dari Tanjung
Pinang, Batam, dan Jakarta. Apalagi ketika distribusi terhambat dikarenakan
gelombang air laut yang tinggi dan keadaan politik disini memanas maka harga
sangat tinggi. Berdasarkan diskusi kecil di kedai dan sambil lalu dengan warga
pendatang dari Jawa dan Jakarta kalau masyarakat disini sangat konsumtif, hal
sepele dibeli dan tidak bisa untuk berproduksi sendiri. Contohnya, masalah
sayur mayur, Kepulauan Anambas sangat kaya tanah dan sangat produktif ditanami
dengan tumbuhan sejenis sayur, seperti tomat, sawi, kentang, wortel, dan harga
paling tinggi yaitu cabe, sangat tidak menutup kemungkinan masyarakat setempat menanam
cabe.
Walaupun ada
tanaman sayur tapi tidak mencukupi kebutuhan ekonomi sehingga harus menunggu
datangnya kapal laut Perintis yang datang dari Tanjung Pinang yang membawa
pedagang-pedagang sayur. Kalau kapal laut Perintis tersebut datang, pasar
Tarempa penuh dan berjubel untuk membelinya. Kapal laut Perintis pun sesak
dengan barang-barang dagangan. Pernah kah masyarakat memikirkan untuk produksi
sendiri?. Hal ini terjawab saat berdiskusi dengan masyarakat kelahiran
Kepulauan Anambas, saat ditanya tentang kenapa lebih memilih membeli daripada
memproduksi, mereka menjawab “lebih praktis” dan ada yang menjawab “lebih murah
ketimbang membeli barang mentah”, mereka lebih enak membeli barang sudah matang
dan jadi untuk di konsumsi. Pola pikir seperti ini yang menyebabkan salah satu
tingginya harga sembako.
Begitu pula yang
diungkapkan oleh pak Nur (48 tahun, sebagai utusan ComDev Premiere Oil bidang
Pertanian dari dari Joglo Tani) dia mengamini kalau masyarakat setempat
konsumtif dan sangat tidak peduli dengan masalah pertanian, padahal daerahnya
sangat produktif untuk ditanami. Sekarang banyak pemilik kebun berasal dari
pendatang dan pekerjanya dari warga setempat. Terus hasil panennya dijual lagi
kepada masyarakat.
Kedua, tentang
politik. Mula-mula heran melihat pemuda-pemuda berbaju safari atau baju
ke-dinas-an halulalang di kota Tarempa,
yang laki-laki mengendari motor-motor keren, yang perempuan juga
mengendarai motor dengan pakaian yang modis, berkerudung yang bergaya-gaya,
penuh hiasan dan warna warni. Tidak satu hari yang kulihat dan tidak satu
orang, tapi berkali-kali dan beberapa orang. Saat coba kutelusuri, kalau
pemerintahan disini sedang membutuhkan pegawai, baik lulusan SMA juga diterima,
padahal standarnya harus sarjana dan pernah berpengalaman dibidangnya tapi
disini tidak begitu, maklum pemerintahan baru, kabupaten ini muncul belum lama
ini sehingga banya kaum muda yang direkrut. Tapi akankah mereka pantas
mengenakan baju beratribut pegawai negeri sipil dengan pekerjaannya?
Banyak cerita pula
kalau pemerintah disini menghabiskan dana untuk hal yang tidak diperioritaskan,
lebih diperuntukan perjalanan dinas dan pelatihan-pelatihan yang
implementasinya “nol”. Kalau menurutku disini ada “gila pegawai” dan “pegawai
gila”. Gila Pegawai yaitu orang yang berambisi untuk menjadi pegawai tapi
dengan pendidikan dan pengalaman yang tidak tepat, maksa bagitu. Sedangkan
dengan Pegawai Gila yaitu orang yang sudah menjadi pegawai stress dan dipenjara
gara-gara terlibat korupsi, dan anehnya ada juga pejabat yang tidak mengerti
tugasnya.
Ketiga, masalah
budaya. Kepulauan Anambas merupakan bagian dari Pulau Sumatra dekat dengan
Malaysia konon secara bahasa seharusnya berbahasa melayu, namun berbeda dengan
di Desa Rintis ini mayoritas berbahasa sunda dan etnis sunda. Historisnya
dahulu banyak masyarakat yang berasal dari Rangkasbitung Banten dan Bangka
Belitung yang merantau ke desa ini. Secara budaya tidak terlihat kebudayaan asli
dan produk daerah setempat. Budaya yang mereka terapkan masih kontemporer
bagiku tidak ada ciri khusus budaya yang lahir disini. Namun masyarakat tanpa
nilai dan norma tentu tidak mungkin, minimal punya suatu aturan yang ada di
masyarakat ini, yaitu mereka membentuk rutinitas marhabanan (pengucapan
sholawat-sholawat), namun rutinitas ini baru berjalan karena sebelumnya tidak
ada disini.
Kultural lainnya,
seperti seni, jenis musik, pakaian, atau makanan masih mirip dengan daerah
asalnya di Banten, Jawa, dan daerah Sumatra bagian utara. Tidak ada ikatan
tradisi dan adat istiadat yang kuat yang dapat mengikat mereka, dan juga tidak
ada acara spriritual seperti Upacara keagamaan, Upacara adat saat musim
tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar