Entri Populer

Senin, 19 Juni 2017

Hari Lahir Pancasila, Kok Libur? Gaungnya Mana

Oleh. N. H. Eddart



Di tahun 2017 tanggal 1 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila, padahal Indonesia merdeka sudah 72 tahun lalu dan sudah 109 tahun lahir identitas jati diri bangsa Indonesia. Kini tanggal 1 Juni resmi berwarna merah, artinya bahwa pemerintah menetapkan sebagai hari libur nasional. Justru esensi apa dari diliburkannya tanggal 1 Juni tersebut? Apakah bentuk celebration dari diliburkannya tanggal 1 Juni? Lalu bagaimana rakyat memaknai hari lahir Pancasila dengan hari libur nasional?

Pancasila lahir pada tanggal 1 Juni tahun 1945 saat Ir. Soekarno mengusulkan ideologi bangsa Indonesia di sidang BPUPKI. Selain Ir. Soekarno yang mengusulkan terdapat dua tokoh sebelumnya telah mengusulkan ideologi bangsa, yaitu Muhammad Yamin dan Supomo. Gagasan yang disampaikan oleh Ir. Soekarno soal 5 prinsip dasar negara, yaitu 1. Kebangsaan Indonesia; 2. Internasionalisme atau perikemanusiaan; 3. Mufakat atau demokrasi; 4. Kesejahteraan sosial dan 5. Negara yang Berketuhanan. Awalnya gagasan Ir. Soekarno disebut Pancadharma.

Ir. Soekarno dikenal religius ingin ideologi bangsa dapat dipatuhi seperti Rukun Islam yang berjumlah lima, sehingga membentuk kewajiban (dharma) bagi pemeluknya. Nampaknya, kata kewajiban tidak tepat untuk prinsip dari suatu negara. Kemudian atas usul dari ahli bahasa dinamakan Pancasila, dimana Sila diartikan asas atau dasar karena dari lima itulah ideologi negara Indonesia dibentuk.

Dimasa reses BPUPKI membentuk panitia yang berjumlah sembilan orang, yaitu diketuai Ir. Soekarno, dan wakil ketua Drs. Mohammad Hatta, dengan beranggotakan Mr. Achmad Soebardjo, Mr. Mohammad Yamin, KH. Wahid Hasjim, Abdoel Kahar Moezakir, Abikoesno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, Mr. Alexander Andries Maramis. Kemudian panitia tersebut dinamakan Panitia Sembilan.

Panitia Sembilan saling berkompromi diantaranya terdapat 4 orang dari kaum kebangsaan (nasionalis) dan 4 orang dari pihak Islam, tanggal 22 Juni 1945 Panitia Sembilan menghasilkan rumusan dasar negara yang dikenal dengan Piagam Jakarta (Jakarta Charter) yang berisikan:

1) Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya
2) Kemanusiaan yang adil dan beradab
3) Persatuan Indonesia
4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia

Piagam Jakarta inilah yang menjadi cikal bakal Pembukaan UUD 1945. Kelima sila yang disusun merupakan teks Pancasila. Namun, di tanggal 18 Agustus 1945  terjadi perubahan pada sila pertama yang berdasarkan pada berbagai pertimbangan mengenai sebuah negara kesatuan.

Ir. Soekarno sebagai presiden yang baru disahkan tanggal 18 Agustus 1945, kemudian melihat kondisi sosial geografi Indonesia yang kaya akan agama dan budaya berpotensi mengancam persatuan dan kesatuan. Presiden Soekarno paham jika kemerdekaan Indonesia yang diperjuangkan selama ini bukan dari satu golongan. Kemerdekaan Indonesia diraih justru lahir atas perjuangan rakyat dari Sumatera sampai Papua dengan berbagai keanekaragaman budaya didalamnya.

Untuk menjaga integrasi bangsa yang baru diproklamasikan, Presiden Sukarno segera menghubungi Hatta dan berdua menemui wakil-wakil golongan Islam. Semula, wakil golongan Islam, di antaranya Teuku Moh Hasan, Mr. Kasman Singodimedjo, dan Ki Bagus Hadikusumo, keberatan dengan usul penghapusan itu. Setelah diadakan konsultasi mendalam akhirnya mereka menyetujui penggantian rumusan “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” dengan rumusan “Ketuhanan Yang Maha Esa” demi keutuhan Indonesia.

Hal ini dilakukan secara legowo oleh para pemuka Islam Indonesia pada saat itu atas pertimbangan dari kata-kata penenangan oleh Pak Hatta, yaitu demi tercapainya kesatuan dan integrasi Bangsa Indonesia yang baru saja berdiri mulai dari tanah Sumatera hingga Papua. Penghapusan kata kata tersebut diterima secara baik dan tanpa adanya rasa dendam yang mendalam. Hal inilah yang menunjukkan toleransi yang tinggi oleh rakyat Indonesia sedari dulu.

Penulis ingin mengajak pembaca memahami sejarah lahirnya Pancasila. Pancasila lahir lebih dulu dari kemerdekaan Indonesia. Pancasila lahir tanggal 1 Juni sedangkan kemerdekaan 17 Agustus di tahun yang sama. Akan tetapi, jati diri bangsa Indonesia lahir lebih dulu dari pada dua momen di atas lahirnya Pancasila dan kemerdekaan Indonesia. Jati diri bangsa Indonesia tercatat lahir di tahun 1908 karena secara resmi kaum terpelajar menggunakan nama Indonesia ketimbang Hindia Belanda. Kemudian dikukuhkan sesuai tanah, bangsa, dan bahasa Indonesia dalam Sumpah Pemuda di tahun 1928.

Kembali pada pertanyaan diatas, justru esensi apa tanggal 1 Juni diliburkan? "Pemerintah bersama seluruh komponen bangsa dan masyarakat Indonesia memperingati Hari Lahir Pancasila setiap tanggal 1 Juni," bunyi Peraturan Presiden (Perpres) No 24 Tahun 2016 Tentang Hari Lahir Pancasila. Bagi pelajar akan sangat senang jika diliburkan, bagi pegawai akan bahagia diliburkan, bagi pengusaha akan mikir keberatan diliburkan, dan bagi pemerintah untuk apa diliburkan kalau tidak ada agenda nasional peringatan hari lahir nasional. Jelas-jelas bahwa Pancasila lahir sebagai modal sosial bagi rakyat Indonesia. Rakyat selama ini bersatu karena modal sosial yang sukses ditanam oleh founding fathers.

Sosiolog Pierre Bourdieu (1992)  mendefinisikan modal sosial adalah sumber daya aktual dan potensial yang dimiliki oleh seseorang yang berasal dari jaringan sosial yang terlembaga serta berlangsung secara terus menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik yang memberikan kepada anggotanya berbagai bentuk dukungan kolektif. Penulis jelaskan dengan sederhana bahwa modal sosial merupakan ikatan individu-kelompok  yang telah mendarahdaging sebagai bentuk pengakuan bersama satu sama lain dalam pencapaian dukungan bersama. Modal sosial harus disatukan dalam ideologi bangsa, jika tidak akan berpotensi disorganisasi sosial.

Bagaimana bentuk perayaan “celebration” yang diagendakan, pemerintan ternyata telah mengeluarkan Surat Edaran Menteri Sekretaris Negara tentang Upacara Bendera Merah Putih sebagai peringatan Hari Lahir Pancasila. Namun, surat edaran B-437/M.Sesneg/Set/TU.00.04/05/2017 tersebut tidak sosialisasi dengan baik bahkan tidak diperingati sebagai sebuah peristiwa yang layak sebagai hari lahir ideologi. Walaupun tertulis pekan pancasila tapi gaung Hari Lahir Pancasila masih dirasa kurang.

Penulis menyimak dalam di beberapa berita baik melalui televisi maupun internet bentuk perayaan berupa upacara di istana negara dan kantor pemerintahan, kirab budaya di Blitar, ikrar pancasila di depan DPRD Yogyakarta, dan melakukan orasi oleh mahasiswa Yogyakarta untuk menangkal radikalisme yang masuk ke ranah pendidikan. Tentunya selain itu ada beberapa bentuk perayaan di daerah lain yang penulis tidak sebutkan.

Tantangan negara kita saat ini rawan akan konflik horizontal, untuk lebih menggema lagi perayaan Pancasila harusnya diagendakan setingkat nasional. Pekan Pancasila dirasa kurang efektif masih kalah dengan isu SARA yang lebih dulu menggema. Buatkan agenda pawai budaya serentak ditiap daerah, diwaktu yang serentak sesuai kondisi masing-masing. Bila perlu sewa stadion Gelora Bung Karno untuk celebration Hari Lahir Pancasila atau sewa jalan protokol Sudirman - Thamrin hingga monas untuk festival Hari Lahir Pancasila. Gerakan Pancasila harus lebih greget daripada bentuk-bentuk aksi yang hanya satu golongan saja. Karena Pancasila bukan milik satu golongan.

Hari Lahir Pancasila diperingati bukan untuk berlibur. Justru agendakan kegiatan-kegiatan yang mengandung Pancasila sehingga esensi diliburkannya tanggal 1 Juni dapat tepat sasaran. Rakyat Indonesia sekarang ini telah jauh dari pemahaman ideologi bangsa, sudah terpengaruh oleh situasional politik dan terbawa oleh pengaruh aliran radikal. Pancasila sebagai modal sosial dapat menjadi integrasi sosial bukan mengesampingkan Pancasila. Apalagi adanya golongan intoleran yang sengaja mengecilkan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Perlu diingat, Pancasila adalah dasar asas pemersatu rakyat Indonesia, sedangkan pedoman berkehidupan sudah tercantum dalam sila pertama atau agama penganutnya masing-masing.

Penulis sangat mengapresiasi tanggal 1 Juni sebagai hari libur nasional atau lebih tepatnya libur untuk celebration hari lahir Pancasila. Semoga di tahun depan perayaan Hari Lahir Pancasila lebih greget dan lebih menggema ke seantaro nasional bahkan dunia. Berikan citra positif bahwa Indonesia adalah milik bersama dan berikan informasi kepada dunia bahwa Saya Indonesia Saya Pancasila.

Kami Sebut Civitas Akademika


Oleh: N. H. Eddart

Lembaga pendidikan sejak dahulu dijadikan sebagai wadah masyarakat dalam mentransformasikan ilmu pengetahuan. Proses transformasi berupa hasil pemikiran-pemikiran dari maha guru lalu disampaikan kepada murid-muridnya, seperti ketika Aristoteles belajar dari Plato dan ketika Plato belajar dari Socrates. Meski Socrates dimasanya tidak menerbitkan sebuah karya, namun dia tetap dikenang dalam tulisan murid-muridnya.
Proses internalisasi ilmu pengetahuan antara guru dan murid adalah bentuk beradaan diri. Rene Descartes, sang filsuf Perancis mengungkapkan “Cogito Ergo Sum” yang artinya “Aku berpikir maka aku ada” ditafsirkan bahwa seseorang harus berfikir akan kehendak yang diinginkan, sehingga keinginan tersebut dapat diwujudkan sesuai dengan kehendaknya. Hal ini tentu sama dengan konsep nilai sosial akan sebuah perasaan-perasaan yang diinginkan dan mempengaruhi perilaku tersebut. Adapun hasil pemikiran seseorang sangat mempengaruhi tindakan-tindakan yang dilakukan, jika berfikir akan nilai yang sederhana maka perilaku kita hanya sebatas tindakan yang sederhana pula.
Keinginan seseorang dengan konsep yang besar dengan mencakup banyak individu sosial, maka akan mewujudkan sebuah hasil karya yang besar. Jika dalam satu wadah lembaga pendidikan memiliki pemikiran besar tentu akan melahirkan sebuah kota pendidikan, bukan hanya sekedar transformasi ilmu, bukan semata-mata mencetak lulusan-lulusan baru, tapi sebuah peradaban besar akan muncul di wadah lembaga pendidikan ini.
Peradaban dalam bahasa Latin, yaitu civitas yang artinya kota. Kota sendiri dideskripsikan sebagai wilayah yang memiliki karakteristik tata ruang yang baik dan rapih, sistem sosial dengan norma sosial yang dipatuhi oleh warganya, masyarakat yang memiliki ragam pekerjaan serta telah memiliki ilmu pengetahuan dan teknologi yang maju ketimbang wilayah lainya.
Civitas dalam lembaga pendidikan merupakan wadah aktivitas pendidikan dengan proses melahirkan, mengembangkan, dan mewariskan sistem pengetahuan agar bertahan dari krisis degeneratif pendidikan. Karena kita tahu, maju-mundurnya sebuah peradaban disebabkan pewarisan nilai-nilai pendidikan oleh guru kepada muridnya. Aktivitas yang berkelanjutan dan sinergi dengan nilai-nilai kebangsaan harus dipatuhi oleh seluruh elemen sekolah, baik itu guru, murid, pegawai, dan orang tua. Maka keseluruhan elemen yang bersatu padu untuk mewujudkan peradaban pendidikan, kami sebut Civitas Akademika.
Sekolah atau kampus sebagai salah satu unit lembaga pendidikan, bertanggungjawab atas keberlangsungan nasionalisme bangsa Indonesia. Untuk menjaga rasa persatuan dan kesatuan bangsa harus diwujudkan dalam aktivitas pendidikan di unit sekolah dalam bentuk aktivitas-aktivitas bernafaskan kebangsaan. Nilai-nilai kebangsaan yang telah tertanam kuat akan rapuh seperti bangunan rumah kayu diserang rayap. Maka penguatan kebangsaan harus semaksimal mungkin dirawat agar tetap kokoh.
Secara konteks historis, kesadaran kebangsaan ditandai dengan dibentuknya Budi Utomo pada tanggal 20 Mei 1908 yang pada saat itu digagas oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo kemudian didirikan oleh Dr. Soetomo dan para mahasiswa STOVIA. Budi Utomo menjadi pelopor organisasi awal pergerakan nasional, kemudian diikuti oleh organisasi-organisasi seperti Sarekat Islam, Indische Partij, Muhammadiyah, Nahdatul Ulama, dll. Kehadiran organisasi ini secara massif melawan kolonial Belanda dengan cara berbeda sebelum tahun 1908, yaitu dengan peranan pers dan pendidikan.
STOVIA yang merupakan sekolah kedokteran era Belanda, menjelma menjadi civitas akademika yang menyadarkan akan pentingnya kebangsaan. Konstribusinya jelas untuk mewariskan kepada generasi selanjutnya untuk bersatu secara ideologis  dan menyuarakan melalui tulisan-tulisan bahwa masyarakat nusantara harus bangun bersatu. Padahal sekolah ini merupakan sekolah kedokteran, menyadari tugas kedokteran begitu berat tapi tidak menurunkan semangat nasionalisme organisasi ini.
Belajar dari kisah sejarah, mari refleksikan hari kebangkitan nasional dalam unit sekolah. Apakah selama ini sudah membangun Civitas Akademika? Bagaimana bentuk Civitas Akademika yang menyumbang kesadaran kebangsaan di unit sekolah? Dan apakah hasil yang telah dilakukan bisa dirasakan oleh seluruh elemen Civitas Akademika?
Untuk menutup tulisan ini, jangan jadikan sekolah hanya sebagai proses belajar mengajar, karena proses belajar mengajar hanya mengejar nilai semata. Tapi jadikan sekolah sebagai pusat peradaban dalam meregenerasi muridnya untuk memegang estafet Budi Utomo. Hari Kebangkitan Nasional adalah titik awal Indonesia merdeka.

*lulusan sosiologi UNJ 2012, pernah aktif di Pusdima Fis UNJ, sekarang mengabdi di SMA Global Prestasi Kalimalang Bekasi.

Statistik Pengunjung

Socio Education

Merupakan Weblog tentang seputar materi ilmu sosial sebagai penunjang dan pelengkap edukasi.

  © Design Blog 'Ultimatum' by Socio Education 2020

Back to TOP