Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label etnografi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label etnografi. Tampilkan semua postingan

Jumat, 23 Maret 2012

Ceritaku dari Pulau Anambas

 
Diatas pesawat terlihat pulau-pulau yang masih tumbuh hutan lebat dan pesisir pantai yang hijau dan biru muda, pasir nampak putih membatasi antara lautan dan daratan Kepulauan Anambas.

Sesampai kuinjakkan kaki ditanah Tarempa pusat kota di Kabupaten Kepulauan Anambas yang ramai dengan pompong (transportasi laut) dan speed boat transportasi laut modern dengan tenaga mesin yang bisa melesat cepat. Selain dua transportasi laut tersebut ada juga motor yang oleh warga disebut “Honda” merupakan kendaraan yang sering digunakan. Selain itu tidak terlihat kendaraan pribadi lain seperti halnya mobil. Ada mobil juga itu hanya milik Pemerintah Kabupaten Kepulauan Anambas, Pengadilan Agama, dan ambulans.

Aku disambut oleh Meila tim Labsos dan Bu Acim (kepala PAUD) di pelabuhan. Tidak menunggu lama aku bersama Pak Ubedilah, Pak Roni, Meila dan Bu Acim menuju ke Desa Rintis di kediaman Teteh Isye (Ketua Yayasan PAUD dan pemilik rumah yang mengijinkan rumahnya ditinggali). Perjalanan untuk mencapai ke Desa Rintis penuh jalanan yang terjal dan tinggi. Dan jaraknya lumayan jauh, memang tidak ada penjelasan berapa kilometer. Tapi kalau naik motor dengan kecepatan 20-35 km/jam dapat ditempuh selama 20 menit. Itu juga jalanan naik turun. Walau jalanannya sudah beraspal tapi tetap saja ada bagian yang masih bertanah.

Sesampai dirumah teteh Isye ponsel tidak ada sinyal dan tidak ada aliran listrik disini, pikir pasti jenuh disini. Jam tanganku menunjukan pukul 13.00 wib, Kata Teteh Isye masih ada 5 jam lagi untuk ada aliran listrik, karena disini listrik masih menggunakan diesel dan jadwalnya dari jam 6 sore sampai jam 10 malam. Padahal di kota masih ada sinyal dan listrik, tapi di desa ternyata listrik tidak ada dan sinyal pun tidak ada. Sehingga ponselku dinonaktifkan dan bersabar untuk bisa menghubungi orang-orang tercintai di pulau Jawa.

Lanjut setelah beristirahat sejenak, berkenalan dan berbincang-bincang, kita makan. Makanan disini selalu ditemani dengan ikan laut, pertama dengan cumi, lanjut ikan tongkol, ikan minyak, ikan simbok, dan menu lainnya seperti telor. Yang menjadi ciri setiap makan yaitu ada teh manis hangat (teh O) yang dihidangkan. Rasanya khas pulau Anamabas yaitu ada rasa cengkehnya dan kadang rasa cengkeh itu begitu terasa sehingga sedikit pahit. Yang paling kusukai ketika makan disini yaitu dengan cumi hitam alias blekutak. Memakan cumi hitam teringat di kampungku, Indramayu. Aku makan sehari 3 kali dengan lauk yang sehari sama, dan ada cerita yang lucu, yaitu ketika tukang sayur dan tukang pedagang ikan tidak lewat rumah maka tidak ada masakan. Ujung-ujungnya mie rebus lagi.

Ditengah-tengah masyarakat ku sebagai publik figure yang selalu bersinar bagi mereka, kadang ada yang minta pendapat untuk kemajuan desa ini. Di kedai sempat berdiskusi dengan mantan Kepala Desa Rintis Bapak Sutisna membahas desa yang diujung pulau ini. Ilmuku tidak terlalu banyak untuk memajukan desa yang besar ini tapi ku maksimalkan dengan semampuku. Di kedai inilah ku dapat berinteraksi dengan warga untuk bersosialisasi.

Keseharianku bertemu dengan guru-guru PAUD dan anak-anak PAUD Kurnia, banyak pengalaman yang didapat dari mereka dan banyak pula pelajaran yang bertambah bagiku.  Anak-anak PAUD begitu senang terhadapku, malah banyak yang berebut ingin disampingku, maklum aku guru satu-satunya yang lelaki sehingga paling tampan diantara guru-guru lain. Aku selalu menghibur mereka dengan ice breaking ala kota Jakarta, mereka pun riang. Sampai ku kehabisan ide untuk menghibur mereka kembali. Siangnya, ku mengajarkan guru-guru untuk membuat Rencana Kegiatan Harian (RKH) dan mengajarkan untuk mengoperasikan komputer, lucu tapi kadang kesel juga karena guru-guru lupa melulu apa yang kuajarkan. Dan ku maklumi karena mengajari yang usia lanjut.

Di PAUD inilah ku habiskan paruh hari dan menghilangkan ingatan akan rindu dengan orang-orang di Jakarta. Menjadi seorang guru PAUD tidaklah mudah, butuh kesabaran yang super apalagi dengan anak-anaknya yang kadang susah diatur. Kalau disuruh belajar malah main-main seperti Rara dan Ridho, dua anak itu yang tak kulupakan.

Banyak hal yang ingin kuluapkan dalam tulisanku ini, pertama ingin ku sampaikan keadaan ekonomi disini sangat tinggi, harga melambung 2 sampai 4 kali lipat dari harga yang ada di Jakarta. Harga tomat satu buah bisa mencapai Rp. 5000,. Dan sayur sawi satu ikat di Jakarta bisa Rp.1000,. tapi disini harganya mencapai Rp.5000,. mie rebus Rp.7000., bakso Rp.10.00,. teh manis dan kopi Rp.4000 jika dikasih es harganya ditambahkan seribu sampai duaribu. Dan harga bensin untuk motor harganya bisa Rp.10.000-15.000,. tergantung persediaan dan distrubusi.

Dari beberapa wawancara sambil lalu dengan masyarakat Desa Rintis ini banyak disebabkan karena kebutuhan pokok tersebut berasal dari luar pulau misalnya dari Tanjung Pinang, Batam, dan Jakarta. Apalagi ketika distribusi terhambat dikarenakan gelombang air laut yang tinggi dan keadaan politik disini memanas maka harga sangat tinggi. Berdasarkan diskusi kecil di kedai dan sambil lalu dengan warga pendatang dari Jawa dan Jakarta kalau masyarakat disini sangat konsumtif, hal sepele dibeli dan tidak bisa untuk berproduksi sendiri. Contohnya, masalah sayur mayur, Kepulauan Anambas sangat kaya tanah dan sangat produktif ditanami dengan tumbuhan sejenis sayur, seperti tomat, sawi, kentang, wortel, dan harga paling tinggi yaitu cabe, sangat tidak menutup kemungkinan masyarakat setempat menanam cabe.

Walaupun ada tanaman sayur tapi tidak mencukupi kebutuhan ekonomi sehingga harus menunggu datangnya kapal laut Perintis yang datang dari Tanjung Pinang yang membawa pedagang-pedagang sayur. Kalau kapal laut Perintis tersebut datang, pasar Tarempa penuh dan berjubel untuk membelinya. Kapal laut Perintis pun sesak dengan barang-barang dagangan. Pernah kah masyarakat memikirkan untuk produksi sendiri?. Hal ini terjawab saat berdiskusi dengan masyarakat kelahiran Kepulauan Anambas, saat ditanya tentang kenapa lebih memilih membeli daripada memproduksi, mereka menjawab “lebih praktis” dan ada yang menjawab “lebih murah ketimbang membeli barang mentah”, mereka lebih enak membeli barang sudah matang dan jadi untuk di konsumsi. Pola pikir seperti ini yang menyebabkan salah satu tingginya harga sembako.

Begitu pula yang diungkapkan oleh pak Nur (48 tahun, sebagai utusan ComDev Premiere Oil bidang Pertanian dari dari Joglo Tani) dia mengamini kalau masyarakat setempat konsumtif dan sangat tidak peduli dengan masalah pertanian, padahal daerahnya sangat produktif untuk ditanami. Sekarang banyak pemilik kebun berasal dari pendatang dan pekerjanya dari warga setempat. Terus hasil panennya dijual lagi kepada masyarakat.

Kedua, tentang politik. Mula-mula heran melihat pemuda-pemuda berbaju safari atau baju ke-dinas-an halulalang di kota Tarempa,  yang laki-laki mengendari motor-motor keren, yang perempuan juga mengendarai motor dengan pakaian yang modis, berkerudung yang bergaya-gaya, penuh hiasan dan warna warni. Tidak satu hari yang kulihat dan tidak satu orang, tapi berkali-kali dan beberapa orang. Saat coba kutelusuri, kalau pemerintahan disini sedang membutuhkan pegawai, baik lulusan SMA juga diterima, padahal standarnya harus sarjana dan pernah berpengalaman dibidangnya tapi disini tidak begitu, maklum pemerintahan baru, kabupaten ini muncul belum lama ini sehingga banya kaum muda yang direkrut. Tapi akankah mereka pantas mengenakan baju beratribut pegawai negeri sipil dengan pekerjaannya?

Banyak cerita pula kalau pemerintah disini menghabiskan dana untuk hal yang tidak diperioritaskan, lebih diperuntukan perjalanan dinas dan pelatihan-pelatihan yang implementasinya “nol”. Kalau menurutku disini ada “gila pegawai” dan “pegawai gila”. Gila Pegawai yaitu orang yang berambisi untuk menjadi pegawai tapi dengan pendidikan dan pengalaman yang tidak tepat, maksa bagitu. Sedangkan dengan Pegawai Gila yaitu orang yang sudah menjadi pegawai stress dan dipenjara gara-gara terlibat korupsi, dan anehnya ada juga pejabat yang tidak mengerti tugasnya.

Ketiga, masalah budaya. Kepulauan Anambas merupakan bagian dari Pulau Sumatra dekat dengan Malaysia konon secara bahasa seharusnya berbahasa melayu, namun berbeda dengan di Desa Rintis ini mayoritas berbahasa sunda dan etnis sunda. Historisnya dahulu banyak masyarakat yang berasal dari Rangkasbitung Banten dan Bangka Belitung yang merantau ke desa ini. Secara budaya tidak terlihat kebudayaan asli dan produk daerah setempat. Budaya yang mereka terapkan masih kontemporer bagiku tidak ada ciri khusus budaya yang lahir disini. Namun masyarakat tanpa nilai dan norma tentu tidak mungkin, minimal punya suatu aturan yang ada di masyarakat ini, yaitu mereka membentuk rutinitas marhabanan (pengucapan sholawat-sholawat), namun rutinitas ini baru berjalan karena sebelumnya tidak ada disini.

Kultural lainnya, seperti seni, jenis musik, pakaian, atau makanan masih mirip dengan daerah asalnya di Banten, Jawa, dan daerah Sumatra bagian utara. Tidak ada ikatan tradisi dan adat istiadat yang kuat yang dapat mengikat mereka, dan juga tidak ada acara spriritual seperti Upacara keagamaan, Upacara adat saat musim tertentu.

Kepulauan Anambas sangat berpotensi bagi sarjana muda yang ingin mengabdikan dirinya di pulau kaya minyak ini, namun hal yang penting harus memiliki idealisme dan loyalitas tinggi untuk membangun daerah ini. Kalau tidak akan terkena arus yang dapat merusak citra positif. 


Rabu, 13 April 2011

Warung Wong Reang: Interaksi Berbahasa Indramayu

Pengantar


Tulisan ini berupaya mengangkat fenomena yang terjadi di salah satu warung Jalan Pemuda. Dalam pengamatan etnografi warung ini tidak jauh berbeda dengan warung lain pada umumnya, hanya yang membedakan adalah cara bicara penjual-pembeli yang menggunakan bahasa Indramayu. Hal ini yang menjadi alasan mengapa mengambil tema tersebut, pada mulanya sekitar bulan Agustus tahun 2008 ketika penulis baru datang ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Jakarta, penulis membeli mie rebus di malam hari sekalian menghabiskan waktu malam dengan berinteraksi dengan warga sekitar karena warung merupakan media yang tepat. Dan dari interaksi tersebut terjadi komunikasi dua arah yang mulanya menggunakan bahasa Indonesia, akan tetapi setelah mengenal satu sama lain asal daerah maka perbincangan dua arah itu menjadi menggunakan bahasa Indramayu. Bukan hanya satu-dua pembeli akan tetapi mayoritas pembeli yang hadir saat itu menggunakan bahasa Indramayu. Jika terus diamati tentunya disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadikan warung ini bernuansa dengan bahasa Indramayu dan warung tersebut tidak sengaja diwajibkan menggunakan bahasa Indramayu akan tetapi hal ini disebabkan tumbuhnya akan rasa etnosentrisme kedaerahan.

Selintas dibenak kita akan arti warung sebagai tempat berjualan barang-barang, makanan, dan alat-alat yang menyediakan kebutuhan masyarakat. Warung juga sebagai media interaksi dan sosialisasi masyarakat yang saling bertukar informasi ketika melakukan aktivitas jual beli. Warung memiliki beragam jenis penjualan, jenis warung akan diketahui berdasarkan barang yang dijual di warung tersebut. Misalkan warung kopi, isi dalam warung kopi adalah beragam jenis kopi walaupun tidak seutuhnya menjual kopi, dalam warung kopi tersebut bisa menjual teh, susu, dan biasanya warung kopi menjual mie rebus dan mie goreng. Warung dijadikan tempat yang cocok untuk saling berinteraksi dan berkumpulnya masyarakat. Berkumpulnya masyarakat dalam satu tempat membentuk suatu komunitas yang secara tidak sadar membuat kelompok sosial. Kelompok sosial terbentuk berdasarkan kesamaan tujuan, nasib, sejarah dan satu seperjuangan. Komunitas warung tersebut jika ditelisik konsumennya adalah orang-orang pangkalan truk, warga sekitar, dan juga dari pendatang daerah, terutama pemulung asal Indramayu.

Sedangkan istilah “wong reang” diambil dari bahasa Indramayu, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia “wong” artinya orang dan “reang” artinya saya atau kita. Orang Indramayu menyebut dirinya sendiri dengan nama “reang”, ketika orang Indramayu bertemu dengan orang lain yang paham dengan nama “reang” maka orang tersebut pasti menafsirkan kalau dia berasal dari Indramayu. Jadi “wong reang” adalah orang kita, bisa diartikan juga sebagai orang Indramayu. Kita bisa melihat kalau warung tersebut adalah komunitas orang Indramayu walaupun tidak semuanya berasal dari Indramayu, akan tetapi orang-orang di warung tersebut rata-rata bisa berbahasa Indramayu. Pemilik warung berasal dari Sindang Laut, Kabupaten Cirebon. Karena mayoritas pengunjung berasal dari Indramayu maka bahasa yang digunakan di warung tersebut adalah bahasa Indramayu, atau bahasa Jawa Kasar. Pengunjung warung tersebut adalah supir dan kernet truk yang mangkal di tempat tersebut. Kebetulan letak warung dan pangkalan truk bersampingan maka warung ramai di kunjungi oleh orang-orang Indramayu. Sebutan ini yang menjadi perubahan perbincangan yang mulanya dengan bahasa Indonesia menjadi menggunakan bahasa Indramayu.


Setting Warung dan Pangkalan Truk


Letak warung berada di pinggiran sungai RT.003 RW.02 Kelurahan Rawamangun Kecamatan Pulo Gadung dan juga samping Jalan Assalam atau dulu daerah tersebut lebih dikenal sebagai pangkalan truk. Daerah tersebut pada tahun 1980-an merupakan rawa-rawa dan masih banyaknya tanaman milik warga, seperti singkong, pisang, dan mangga. Akses jalan ke warga hanya bisa dilalui dengan jalan kaki karena pada saat itu belum dibangun jembatan. Namun pada tahun 1990 tanaman milik warga tersebut digusur akibat pembuatan jalan baru dan perluasan jalan arah Pulo Gadung-Rawasari. Lahan bekas timbunan tanah menjadi arena yang dimanfaatkan oleh warga setempat untuk membuka lapak dagangan, seperti pedagang nasi ayam goreng/bakar, dan membuka warung-warung kecil. Pada tahun 2008 pangkalan truk pindah ke dekat warung dan samping sungai, dulunya pangkalan truk menempati lahan yang sekarang dijadikan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jalan Pemuda, pada saat itu juga dibangun Jalan Assalam sebagai perluasan dari bangungan Plaza Toyota Pemuda. Berikut ini adalah penuturan Abah Udin seorang imam Masjid Assalam yang menceritakan lahan tersebut.

“waktu tahun 1980-an samping jalan itu adalah rawa-rawa dan tanaman milik warga, yang sengaja di tanam untuk memanfaatkan lahan kosong, tapi setelah pembangunan jalan baru ada, pangkalan truk jadi pindah kesitu”.

Jalan Pemuda 1 terkenal dengan julukan pangkalan truk karena sudah ada sejak tahun 1980an dan truknya berjejer disamping Jalan Pemuda. Keberadaan pangkalan truk menjadi tidak menentu ketika terjadi penertiban jalan karena mengakibatkan kemacetan di Jalan Pemuda dan mengusir beberapa truk untuk pindah pangkalan. Setelah itu truk banyak yang terpencar akan tetapi masih berada disekitar Jalan Pemuda. Keberadaan pangkalan truk yang ada di samping jalan membuat warung menjadi semakin ramai dikunjungi.

Warung tersebut tidak memiliki nama khusus, terletak di samping Jalan Assalam dan tidak jauh dari Masjid Assalam. Dan juga letaknya tidak jauh di samping jalan menuju Pulo Gadung dari arah Rawasari. Dilihat dari Jalan Pemuda 1 memang tidak begitu jelas, karena kondisi warung yang tertutup dan tidak begitu besar. Ada dua pangkalan truk di Jalan Pemuda 1, pertama yang di jembatan penyebrangan dekat dengan Universitas Ibnu Chaldun, dan satunya lagi dekat dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Untuk menemukan warung ini kita temukan terlebih dahulu pangkalan truk di Jalan Pemuda 1, dekat dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH) lampu merah Pramuka-Pemuda. Warung ini akan terlihat jelas manakala kita memasuki Jalan Assalam, jalan di samping Plaza Toyota Pemuda. Samping kiri warung terdapat konter pulsa, dan konter pulsa tersebut tepat di samping Jalan Assalam, samping kanan warung terdapat pangkalan truk, sedangkan depan warung terdapat tambal ban yang tepat di samping jalan arah Pulogadung. Dan belakang warung terdapat kali kecil ukurannya sekitar 3 meter dan kapasitas airnya tidak terlalu banyak.

Letak geografis warung yang di sisi kanan adalah pangkalan truk dan sisi kiri adalah Jalan Assalam menjadikan warung ini dapat diakses oleh pengunjung, serta warung tersebut dekat dengan pemukiman warga RT.003. warga tersebut menurut Bapak Kasdianto selaku Ketua RT.003 mayoritas berasal dari Jawa (wong wetan), dan termasuk di dalamnya berasal dari Indramayu dan Cirebon. Melihat berdasarkan jenis warung yang dijual yaitu kopi dan mie yang menjadi daya darik terutama pengunjung warung tersebut mayoritas adalah kaum lelaki, maka bapak-bapak warga yang berada di RT.003 lebih senang datang ke warung tersebut. Belum lagi letak strategis warung yang selain di samping jalan juga dekat dengan Masjid Assalam. Waktu yang ramai dikunjungi juga ketika menjelang waktu sholat isya, warga setempat yang setelah menunaikan ibadah sholat magrib lebih memilih ke warung daripada balik kerumah.

Warung ini menyediakan beragam macam minuman hangat dan muniman dingin, minuman hangat seperti kopi, susu, dan teh, sedangkan minuman dingin beragam macamnya. Warung ini juga menyediakan kebutuhan sehari-hari seperti sabun mandi, sabun untuk mencuci pakaian, dan jajanan ringan. Warung ini menjual rokok sebagai barang dagangan yang laku setiap harinya, teman saat berinteraksi dengan orang lainnya selalu ditemani dengan rokok dan minuman hangat. Dalam pengamatan rokok hampir tiap jam ada pembelinya, dan rokok merupakan barang dagangan yang sikulasinya sangat cepat. Pada malam hari kopi hangat menjadi menu utama yang selalu di pesan dan juga mie rebus sebagai makanan pelengkap di malam hari. Sedangkan di pagi hari kopi hangat membuat mata segar saat mulai beraktivitas, menu makanan memang hanya mie instan, ada juga roti yang seharga Rp.1000,- tidak ada makanan berat lainnya.

Warung ini berukuran 2×2,5 meter dengan alas tanah liat dan atap yang terbuat dari terpal warna orange dan dilapisi paling atas dengan seng berlapis plastik putih, gunanya untuk menahan panas dan hujan. Sisi-sisi warung hanya ditutupi dengan papan plastik dan tiang sisi warung terbuat dari kayu yang tebalnya sekitar 10 cm. Sisi paling belakang selain menggunakan papan plastik juga menggunakan spanduk bekas, gunanya menahan hujan yang deras agar tidak masuk ke dalam warung. Warung ini dibuat tidak permanen tujuannya agar ketika dibongkar tidak mengalami kerugian yang sangat besar, karena tanah di warung tersebut sebagai tanah sengketa sehingga pemilik warung sengaja membuat dari semen dan batu bata. Di dalam warung terdapat meja kecil ukuran 2 meter yang digunakan sebagai tempat dapur dan terdapat kotak dagangan yang terbuat dari kayu dan kaca setinggi 1,5 meter untuk meletakkan barang dagangan seperti rokok, sabun mandi, sabun untuk mencuci, mie instant dan kopi. Beragam rokok dipasang depan kotak dagangan, fungsinya agar dapat terlihat rokok yang tersedia di warung tersebut. Mie instan diletakkan di kotak dagangan barisan kedua, dengan posisi horizontal. Sedangkan beragam macam kopi digantung di sisi-sisi kotak dagangan, fungsinya memudahkan penjual untuk mengguntingnya saat ada pemesan. Tepat di samping kotak dagangan terdapat meja kecil yang digunakan untuk meletakan cooler box warna merah tempat menaruh minuman dingin. Di samping meja dapur ada meja kecil yang ukurannya sama dengan meja dapur, digunakan untuk meletakan bumbu masakan, seperti saus, kecap, minyak, dan kotak kerupuk berwarna biru.

Warung ini dilengkapi dengan televisi ukuran 14 inch yang diletakan diatas kotak dagangan dan meja ukuran panjang 2 meter dan lebar sekitar 70 cm, dengan dua bangku yang terbuat dari kayu digunakan untuk tempat makan dan duduk pembeli. Meja makan posisinya di depan kotak dagangan agar pembeli bisa melihat televisi, atap meja makan terbuat dari terpal warna biru yang menyambung ke terpal warna orange, sisi penyengga terpal warna orange terbuat dari bambu dengan diameter 5 cm dan sisi satunya diikatkan ke pohon cery yang terletak di depan warung. Terdapat bangku yang sengaja dibuat darurat, berfungsi ketika ada yang tidak kebagian tempat duduk karena banyaknya pengunjung. Bangku buatan darurat tersebut dibuat dari kayu-kayu yang tidak terpakai di desain seperti bangku, yang kuat digunakan untuk duduk. Sambil menemani terjalinnya interaksi sosial terdapat juga dua unit catur, satu catur berwarna hitam-putih dan satu caturnya lagi berwarna merah-putih. Catur yang berwarna hitam-putih ini di desain khusus untuk di meja makan, jadi ketika pengunjung yang ingin main catur sangat mudah sekali menggunakannya.

Fenomena Warung: Pengunjung Berbahasa Indramayu

Warung ini buka 24 jam nonstop, penjaga warung terdiri dari empat orang. Mereka bergantian setiap 6 jam sekali, jadwal jaga mereka dari pagi, siang-sore, malam dan dini hari. Empat penjaga warung tersebut semuanya adalah laki-laki yang paling muda umurnya berkisar 27 tahun dan paling tertua adalah 40 tahun. Tidak diketahui sistem bagi hasilnya bagaimana, yang jelas mereka adalah saudara. Pengunjung juga mayoritas adalah laki-laki, yang latar belakangnya supir, kernet, dan warga setempat yang ikut nongkrong di warung. Mereka menggunakan bahasa Indramayu atau bahasa Jawa Kasar, sebagian juga menggunakan bahasa Betawi. Tentunya nuansa kedaerahan “wong reang” menjadi kental di warung tersebut. Mereka secara tidak langsung membentuk suatu komunitas dengan bahasa Indramayu sebagai tanda bermakna.

Aktivitas yang terjadi di warung berupa jual-beli dan pemesanan seperti kopi dan mie, juga terjalin suatu bisnis tentang kontrak dan sewa truk oleh kliennya. Memang tidak pernah pudar sehari pun dialek bahasa Indramayu yang selalu digunakan, misalkan saja dalam perbincangan mengenai harga tawar-menawar menggunakan bahasa Indramayu. Ketika komunikasi yang terjalin dengan orang yang bukan dari Indramayu maka bahasa mereka yang digunakan adalah bahasa Indonesia tidak menutup kemungkinan bahwa dialek yang masih “medok” dengan logat Indramayu yang masih kental.

Pada aktivitas di pagi hari, sekitar pukul 06.00 wib suasana warung sudah mulai ramai dengan pesanan favorit di pagi hari yaitu kopi pahit-hitam, susu putih, jahe susu dan kopi mix. Terdengar juga suara mesin truk yang dipanasin dan beberapa orang membersihkan truk dengan menyiram air dari derigen yang dibeli dari penjual air keliling. Truk yang dipanasin sekitar 20-30 menit, mereka menunggu mesin panas dengan memesan kopi dan merokok sambil menonton siaran televisi yang dipajang di depan warung. Di pagi hari juga tersedia sarapan seperti gorengan tempe, bakwan, dan ketan putih. Menu itu akan habis menjelang siang. sudah pasti ketika mereka berkumpul topik penbicaraan mereka antara lain menanyakan temannya pergi narik kemana dan juga menanyakan beberapa agenda yang mereka jalani di hari tersebut dan tentunya menggunakan bahasa Indramayu. Sedangkan aktivitas di siang hari sedikit sepi karena kebanyakan mereka terutama pemilik truk pada narik ke tempat tujuan masing-masing. Tapi tetap ada pengunjung yang datang di siang hari biasanya dari warga sekitar yang sengaja nongkrong, tujuan utama warga setempat bukan untuk membeli akan tetapi untuk mengisi waktu luangnya dengan nongkrong di warung, setelah itu memesan kopi, merokok, menonton televisi, dan tentunya menjalin komunikasi dengan bahasa Indramayu.

Berikut hasil wawancara sambil lalu dengan Bapak Sarikin warga RT.003 ketika penulis bertanya terkait alasan siang-siang sudah di warung tersebut, beliau menjawab dari pada ning umah nganggur enakan dolan ning warung (dari pada di rumah menganggur mendingan main ke warung)”, Bapak Sarikin memang tidak bekerja lagi jadi kesehariannya dihabiskan untuk ke warung dan membersihkan Masjid Assalam. Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak Chamdani selaku Ketua RT.002 yang menjawab ning umah mah sepi, ning warung bisa ngobrol..ngobrole macem-macem kaya ngandani berita, lan wong kenene (di rumah sepi, di warung bisa mengobrol..mengobrolnya macam-macam seperti membahasa berita dan orang sininya)”, alasan tersebut jika dilihat tujuan utamanya bukan untuk membeli akan tetapi sengaja menghabiskan waktu luangnya di warung. Di waktu siang juga sering terjadi perbincangan dengan klien yang membutuhkan truk untuk mengangkut barang. Bisa di katakan juga kalau warung tersebut sebagai sekertariatnya.

Aktivitas di malam hari tentunya lebih ramai dikunjungi karena pemilik truk dan warga sekitar yang mulai berbaur di warung. Warung tersebut tidak akan ramai manakala jauh dari pangkalan truk, dan warga sekitar sengaja datang untuk menjalin interaksi dengan temannya di warung tersebut. Aktivitas malam mulai ramai menjelang sore hari, mereka datang untuk menghibur dirinya sendiri dan berinteraksi dengan temannya. Padahal mereka hanya duduk dan berbincang-bincang terkait hal-hal keseharian. Ketika mejelang sholat isya pengunjung mulai ramai seperti pemilik truk, supir dan kernet yang datang setelah bekerja, dan juga datang warga yang sengaja menunggu waktu isya. Aktivitas ini tentunya selalu diisi dengan komunikasi dua arah yang mayoritas lebih senang menggunakan bahasa Indramayu.

Pengunjung warung selain warga RT.003 dan RT.002 yang mayoritas berasal dari Jawa termasuk di dalamnya berasal dari Indramayu dan Cirebon, juga dapat dibuktikan dari truk dengan melihat plat kendaraan bermotor, ada 12 truk yang sering mangkal di dekat warung, lima antaranya adalah bernomor polisi E 2839 TA, E 8130 PE, E 8598 PI, E 2801 SM, dan E 8391 NR dan selebihnya bernomor polisi daerah DKI Jakarta. Nomor kendaraan berplat E meliputi daerah Cirebon dan Indramayu yang sengaja dibawa dari daerah untuk menjalankan bisnis sewa dan jasa angkut barang di Jakarta. Berikut adalah ungkapan dari Bapak Poniman termasuk salah satu supir truk.

ning kene sing plat E ana lima, terus sengaja digawa sing dermayu nganggo ngangkut barang lan kerja ning kene, sing duwe ne gah wong dermayu tapi wis tinggal ning kene

(disini yang berplat E ada lima, sengaja dibawa dari Indramayu untuk mengangkut barang dan bekerja disini, yang punya juga orang Indramayu yang sudah tinggal disini).

Dari beberapa penelusuran nomor kendaraan plat E lebih jarang terlihat dikarenakan truk ini sering pulang-pergi ke Indramayu. Walaupun yang sering mangkal adalah nomor kendaraan berplat B tapi bos tau pemiliknya juga berasal dari Indramayu, tempat tinggal mereka juga masih di sekitar pangkalan truk tersebut.

Kesimpulan

Warung merupakan media interaksi yang tepat untuk saling bertukar pikiran dan menghabiskan waktu luang. Interaksi yang terjalin di warung ini sering menggunakan bahasa Indramayu yang kalau ditelusuri alasan mengapa pengunjung lebih sering menggunakan bahasa Indramayu dikarenakan pertama pengunjung berasal dari pangkalan truk, dan pemilik truk, supir, dan kernet berasal dari Indramayu. Kedua, pemilik warung atau penjaga warung juga berasal dari Cirebon yang bahasanya sama dengan bahasa Indramayu. Ketiga, komunitas setempat yaitu warga RT.003 dan RT.002 mayoritas berasal dari Jawa, termasuk Indramayu dan Cirebon. Ketiga faktor tersebut berpusat pada warung baik berupa interaksi maupun aktivitas kesehariannya. Titik temu dari ketiga faktor tersebut menjadikan warung yang berada di dekat Jalan Assalam bernuansa Indramayu. Berdasarkan hasil pengamatan etnografi keterkaitan pangkalan truk, pemilik warung, dan warga setempat memaknai warung tersebut sebagai “Warung Wong Reang”.

Statistik Pengunjung

Socio Education

Merupakan Weblog tentang seputar materi ilmu sosial sebagai penunjang dan pelengkap edukasi.

  © Design Blog 'Ultimatum' by Socio Education 2020

Back to TOP