Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label agen dan struktur. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label agen dan struktur. Tampilkan semua postingan

Jumat, 26 September 2014

TERLAHIRLAH NEO-ORDE BARU: Kajian Sosiologis akan Keputusan Pemilukada oleh DPRD

 

Oleh: N.H. Eddart

Selama sepuluh tahun ini Indonesia telah dipuji-puji oleh negara tetangga yang telah berhasil menciptakan demokrasi yang adil dan langsung dipilih oleh rakyat. Sepuluh tahun yang lalu melalui suara-suara mahasiswa telah berhasil meruntuhkan tembok kediktatoran orde baru. Akankah aktor-aktor perubahan era 1998 yang telah menyuarakan hati rakyat harus kembali ke masa lalu? Bagaimana nasib rakyat jika perubahan yang telah berganti kini terlahir kembali dan berjaya menguasai tanah air?. Dalam coretan ini akan mengajak pembaca untuk memahami kenapa perubahan tersebut kembali berputar.

Perubahan akan selalu ada dalam masyarakat dan setiap perubahan akan disertai dengan disintegrasi antargolongan kepentingan yang ingin mewujudkan dominasi politik di tanah air. Lantas perubahan bisakah dikatakan sesuai dengan harapan masyarakat manakala telah diamini oleh golongan  kepentingan politik. Sistem pemilihan kepala daerah telah disahkan oleh "Dewan Legislatif - DPR RI" untuk dipilih oleh DPRD, koalisi yang tergabung dalam Koalisi Merah Putih (KMP) telah memenangkan suaranya terhadap RUU Pemilukada yang dipilih oleh DPRD. Kemenangan KMP mengingatkan sistem pemerintahan yang telah runtuh sepuluh tahun silam. Sepuluh tahun silam Indonesia memilih pemimpin berdasarkan dominasi minoritas dari partai politik yang duduk di kursi legislatif dan pemimpin yang terpilih seperti "wayang golek" yang digerakkan oleh "si dalang" di kursi legislatif.

Terlahirnya kembali sistem orde baru ini akibat dari kekalahan dari demokratisasi presiden bulan Juli 2014. Koalisi yang unggul di legislatif ingin membangunkan kembali kejayaan orde baru di Indonesia padahal yang sebelumnya telah diruntuhkan oleh aktor-aktor perubahan. Menurut Oswald Spengler perubahan terjadi secara siklikal dari lahir menjadi tumbuh berjaya yang kemudian runtuh dan akan terlahir kembali. Sistem pemilihan kepala daerah yang telah terlahir di era orde baru dan menjadi kejayaan untuk mendominasi politik dan menguras kekayaan Indonesia demi kepentingan yang mengesampingkan rakyat, rakyat akhirnya menangis atas kesalahan sistem ini, tanpa harapan balas budi dari rakyat yang telah menderita puluhan tahun, sistem pemilihan ini dapat diruntuhkan oleh perjuangan-perjuangan mahasiswa dan intelektual
muda yang ingin menciptakan demokratis.

Aktor yang melahirkan neo-orde baru perlu dijadikan suprastrukur agar aktor-aktor mengikuti aturan yang telah ditetapkan, kemudian akan menjadi struktur yang dipatuhi oleh agen-agen politik untuk memanfaatkan kepentingan kekuasaan tanah air ini. Agen yang melakukan tindakan secara terus menerus, berulang-ulang dan berkelanjutan yang dilakukan oleh individu masyarakat akan menciptakan strukturasi yang harus dipatuhi oleh setiap individu masyarakat. Dengan begitu, Teori Strukturasi Anthony Giddens membuktikan akan sistem pemilukada oleh DPRD akan mengulang dimana era orde baru menjadi sistem yang berjaya untuk Indonesia. Agen (dalam hal ini aktor politik) akan menciptakan struktur dan struktur akan mengatur agen-agen (termasuk semua lapisan masyarakat) untuk mematuhinya. Sistem pemilukada oleh DPRD yang telah dipatuhi oleh agen-agen akan sulit diruntuhkan lagi dalam jarak waktu yang singkat, aktor perubahan akan berjuang kembali mengusap tangis masyarakat, dan disintegrasi akan kembali terjadi di Indonesia dengan kasus  penjarahan, kekerasan, pembunuhan, dan pelecahan seksual.

Untuk itu, marilah merenung kembali atas keputusan dari aktor-aktor perubahan. sistem ini akan berjaya manakala telah disepakati oleh semua lapisan dan hanya tinggal diam tanpa perjuangan. Warga yang tidak memiliki kekuasaan politik akan dipaksa mengikuti sistem ini, sedangkan warga yang memiliki kekuasaan politik menjadi dualitas karena mengerti penderitaan tetangganya bahkan anak-anaknya kelak, namun dalam posisi politik mengerti juga kedudukan sebagi elit politik yang mengharuskan sistem pemilu kepala daerah oleh DPRD terwujud.

Kamis, 06 Maret 2014

Anggota Kontestasi Dari Negara Kontestasi


Kapan anda mengenal politik? kenapa saat SMA masih awam dengan politik?Pemahaman diranah politik di tingkat pendidikan menengah masih sangat dangkal. Kurikulum pendidikan diarahkan pada ranah pengetahuan kognitif dan keterampilan. Pelajaran  didominasi oleh hitungan, hitungan, hitungan, dan membaca. Mana diskusinya? mana menulisnya? tapi bukan itu maksud tulisan ini.

Politik sebagai salah satu implementasi sekolah, setuju? apakah selama ini yang telah lulus SMA sudah paham dengan politik? karena kita tahu setelah lulus SMA sudah mempunyai hak memilih caleg dan capres. Nah… masalah disini adalah yang memilih dan yang mau dipilih sama dari institusi pendidikan tingkat menengah yang tidak mengajarkan politik utuh, walapun ada pelajaran Kewarganegaraan tapi minat dan yang gemar dengan nuansa politik dan sosial sedikit.

Apakah legislatif negara ini terdiri dari orang-orang yang representatif dan negarawan? setahu saya banyak artis, pelawak, orang iseng, dan pengusaha yang membawa kepentingan golongan. Minimnya pemahaman politik dan ketatanegaraan membawa negara ini menjadi “negara kontestasi”. Anggota Dewan berlomba-lomba mengais rejeki dari ranah pengabdian masyarakat yang bukan koridor dalam meraih kekayaan. Hasilnya undang-undang tidak rampung-rampung dan pembangunan sosial entah mengarah kemana.

Perlukah politik masuk dalam kurikulum pendidikan tingkat menengah selain pelajaran Kewarganegaraan? Selama ini Pendidikan Karakter sudahkah mempunyai sense of politic? Ketika saya menanyakan dikelas tentang minat atau suka tidak dengan politik, jawaban mereka, tidak!, politik penuh dengan kejahatan, politik kotok dan busuk, politik penuh dengan kebohongan. 

Jika anda yang sangat paham politik apa benar politik seperti itu?. Saya tahu jawaban mereka seperti itu karena mereka sehari-hari mengkonsumsi  dari media massa yang memberitakan korupsi melulu.  Jika diajarkan “per-politik-an” yang sesungguhnya disekolah saya yakin bangsa ini tidak ada “anggota kontestasi” lagi.

Jadikan pelajar dan pemuda sebagai agent of change dalam masyarakat, memberikan konstribusi pikiran untuk pembangunan sosial sebagai penyeimbang pelajaran eksakta. Boleh ada pelajaran eksakta, tapi ajarkan mereka -pelajar dan pemuda- tentang birokrasi dan politik, karena setahu saya tidak ada sekolah menengah yang menyiapkan calon peneliti dan pembangunan sosial, yang ada selama ini sekolah menengah untuk jadi karyawan perusahaan.

Semoga Bermanfaat

Kamis, 25 November 2010

Pierre Bourdieu: The Critique of Structuralism

The critique of structuralism
Menurut bourdieu, strukturalis mengabaikan ketidakpastian situasi dan kecerdikan praktis dari agen yang tidak mekanis, aturan yang mengikat dan peran bermain dalam konteks yang standar. Sebaliknya, agen menggunakan “practical sense” (sens pratique) untuk beradaptasi dengan situasional tertentu dengan batasan struktural. Bourdieu menekankan struktur yang kompleks dan lainya melalui pendekatan “objectifying”. Dalam ungkapan Durkheim untuk membatasi “fakta sosial” Bourdieu melihatnya sebagai kelas sosial dan faksi dalam kelas tersebut sebagai fakta sosial.

The critique of Interactionism and Phenomenology
Bourdieu berpendapat ada lebih untuk kehidupan sosial dari interaksi, dan ada lebih banyak interaksi dari "definisi situasi" dalam Interaksionisme simbolik atau "accounting practises" dalam ethnomethodology. seorang "aktor" interaksionisme simbolis dan "anggota" dari ethnomethodology adalah abstraksi yang gagal untuk menyadari bahwa anggota selalu mapan dalam kelompok tertentu dan kelas. Interaksi selalu interaksi-dalam-konteks, dan yang paling penting dari konteks ini adalah lokasi kelas. Bahkan seperti teature dasar interaksi sebagai kemungkinan yang bahkan mungkin terjadi antara individu-individu bervariasi dengan latar belakang kelas. Interaksi dengan demikian tertanam dalam struktur, dan struktur kendala apa yang mungkin.

The Critique of Utilitarianisme
Bourdieu tidak menggantikan model ekonomi tindakan rasional dengan model interpretatif tindakan simbolis. Dia tidak membantah bahwa teori tindakan rasional adalah salah karena terlalu rasionalistik atau karena mengabaikan sisi interpretatif tindakan. Sebaliknya, ia menyatakan bahwa teori tindakan rasional tidak menyadari bahwa tindakan bahkan simbolis rasional dan berdasarkan kepentingan kelas. Jadi, menurut Bourdieu, kesalahan model ekonomi tidak bahwa itu menyajikan semua tindakan sebagai rasional dan tertarik, melainkan kesalahan besar adalah untuk membatasi kepentingan dan rasionalitas dengan hadiah materi langsung yang dikumpulkan oleh reflektif dan mencari keuntungan individu.

Statistik Pengunjung

Socio Education

Merupakan Weblog tentang seputar materi ilmu sosial sebagai penunjang dan pelengkap edukasi.

  © Design Blog 'Ultimatum' by Socio Education 2020

Back to TOP