Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label Karl Marx. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Karl Marx. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 23 Mei 2015

CINTA DALAM BINGKAI SOSIOLOGI

 Oleh: N. H. Eddart

Sebuah konsep yang abstrak namun sering kita jumpai dalam kehidupan kita dan suatu wujud yang dirasakan dalam detupan jantung namun susah dikendalikan, itulah cinta. Dalam tulisan ini cinta akan dikaji dalam bingkai sosiologi. Sosiologi mengkaji face to face grouping, symbolic interactionism, social conflict dan konsep sosiologi lainnya. Kemudian cinta dilihat dalam kacamata sosiologi dari segi proses sosial cinta itu terjalin, segi memaknai cinta dan seni dalam cinta, dan terakhir cinta sebagai produk sosial.












Pengantar 
 Sosiologi merupakan ilmu yang mengkaji masyarakat, baik meliputi proses sosial, nilai dan norma sosial, kelompok sosial, dan lain sebagainya yang terdapat dalam masyarakat. Masyarakat menjalain hubungan timbal balik individu dengan individu, individu dengan kelompok, serta kelompok dengan kelompok yang bersifat asosiatif maupun disosiatif. Konsep asosiatif mengarah pada proses penyatuan individu dan kelompok dalam suatu masyarakat yang satukan oleh perasaan afeksi (kasih sayang), afeksi dapat juga diartikan sebagai kategori cinta. Namun cinta tidak bisa dikatakan sebagai kasih sayang, buktinya ucapan cinta kadang membuat sakit hati dan saling membenci.

Cinta dalam makna normatif berarti ungkapan kasih sayang dari seseorang diwujudkan dalam bentuk afeksi dan proteksi. Pewujudan afeksi sudah jelas bentuknya berupa kasih sayang, namun perwujudan proteksi yang diartikan melindungi kadang disalahlakukan sebagai koersif atau pemaksaan untuk mengikuti apa yang diinginkan pasangan. Teori yang mendasar ini pada umumnya dimengerti oleh setiap kalangan, orientasi dalam memaknai cinta susah distandarisasikan. Kita ketahui cinta adalah kasih sayang, kita ketahui cinta adalah awal pembentukan kelompok sosial terkecil seperti keluarga, dan cinta adalah ikatan penyatu dua individu.

Kerangka Konsep Sosiologi untuk Membingkai Cinta 
 Interaksionisme Simbolik, berasal dari Goerge Herbert Mead, dari kata interaksionisme sudah nampak menunjukan interaksi sosial, sedangkan simbolik mengacu pada penggunaan simbol-simbol dalam interaksi. Ketika remaja laki-laki selalu memberikan pandangan khusus kepada remaja perempuan, istilah kita suka lirik-lirik dalam kelas. Remaja perempuan lalu memaknai lirikan matamu si remaja laki-laki itu. Lirikan mata adalah bentuk simbolik dari syarat terjadinya interaksi sosial yaitu kontak. Lain cerita ketika remaja laki-laki yang biasanya tidak berkomunikasi intensif seperti teleponan, chatting, dll kali ini si remaja laki-laki menelpon “kamu sedang apa?”, “sudah makan belum?” atau pesan status di media sosial “iiih seneng bisa ngobrol sama dia” atau “Ya Tuhan jantungku seperti ditabuh seribu orang saat dekat dengannya”, itulah pesan cinta diawal pertemuan. Sesuatu interaksionisme simbolik dari dua individu yang mengarah pada hubungan timbal balik.

Herbert Blumer, salah seorang penganut pemikiran Mead, berusaha menjabarkan pemikiran interaksionisme simbolik dengan tiga pokok pemikiran, bahwa individu bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas makna (meaning) yang dipunyai sesuatu baginya. Tindakan seseorang terhadap sesuatu barang/benda kemudian dimaknai oleh kedua orang tersebut. Dikisahkan pada remaja laki-laki yang mencintai remaja perempuan ketika dihari ulang tahunnya, dia memberikan kado atau acara istimewa untuk memaknai kasih sayangnya. Tentunya berbeda dengan pasangan lain saat merayakan ulang tahun, bedanya saat ulang tahun kado tidak ada, acara istimewa tidak ada, padahal mereka menjalin hubungan kasih sayang. Kisah ini tentunya diartikan sebagai interaksionisme simbolik bahwa simbol-simbol dalam pasangan tidak harus sama dengan pasangan lainnya.

Konflik sosial, tokoh yang menyumbangkan dalam pemikiran teori konflik sosial seperti Karl Marx, Max Weber, Ralf Dahrendorf, Lewis Coser dll. Konflik sosial menurut Marx sebagai bentuk perjuangan kelas sosial untuk merebut kelas paling atas yaitu bourjuis. Konflik sosial klasik lebih parsial berbeda dengan konflik sosial modern seperti Lewis Coser. Coser menyebut bahwa konflik bersifat positif bagi masyarakat karena mengakibatkan peningkatan adaptasi dan solidaritas hubungan sosial atau kelompok tertentu. Teori Coser dapat dianalogikan seperti suatu pasangan kekasih terjadi pertengkaran satu sama lainnya, tanpa berujung mengakhiri hubungan atau istilah kita putus, kemudian dari konflik yang terjadi mereka berdua sepakat untuk saling memaafkan dan memperbaiki satu sama lain. Cermati kisah cinta pasangan baru dibawah ini: 

Sebut saja Mawar (nama samaran) dia mengharapkan disetiap pagi sang kekasihnya menelpon dengan mengucapkan “selamat pagi cantik” dengan berbau romantis. Namun berbanding terbalik dengan diharapkan Mawar, kekasihnya malah mengucapkan “selamat pagi jelek”, “si jelek, pagi pasti masih kucel..ea..ea..”, nampaknya Mawar tidak sepakat dengan ucapan kekasihnya yang disebut “jelek”. Kemudian Mawar ngambek, ngedumel, ngomel, dan kategori konflik sosial lainnya. Oleh sang kekasih yang mengatakan jelek mencoba mengklarifikasi perkataannya bahwa baginya sebutan “jelek” adalah romantisme humor yang sengaja dikemas sebagai bumbu cinta. Akhir cerita yang haru tadi si Mawar dan si jelek berdamai dan mulai beradaptasi dan menguatkan hubungan satu sama lain dengan saling memanggil si jelek dan si jelek. 

Bersambung…

Jumat, 26 Juni 2009

Agama dalam pandangan Marx hanya melahirkan ilusi dari ketertindasan yang dialamai oleh kelas proletar?

Pada metode dasarnya, aliran Marxisme menolak agama dan alam ghaib serta tidak mengakui kehendak atau keinginan di luar alam materi. Aliran ini berpendapat bahwa alam materi menguraikan dirinya sendiri tanpa membutuhkan bantuan kekuatan ilahi yang mendahului keberadaan alam. Lebih dari itu, aliran Marxisme menganggap agama sebagai penghambat kemajuan. Agama merupakan opium dan candu, kekuatan reaksioner dan tidak produktif. Agama membuat orang makin pasrah, rela, dan tidak mau mencari rezeki demi mananti surga-surga ilusi di akhirat. Agama merupakan sekutu alami dari individualisme dan kapitalisme . Agama memberikan landasan legal-theologis pada orang-orang kaya sambil mengikat orang-orang miskin dengan fatalisme yang membelenggu. Serangan tersebut diterapkan oleh Stalin terhadap agama dan pemuka agama dengan cara menutup gereja-gereja, menangkap para biarawan, dan mengusir para pendeta. Ia juga menghapuskan pelajaran agama dari sekolah-sekolah dan menggantikannya dengan pelajaran atheis . Serangan tersebut berdampak pada kelas bawah atau kelas proletar yang secara tidak sengaja mematuhi ajaran Marx dan dijadikan sebagai orang yang kehilangan dirinya, karena sebelumnya kelas proletar mempunyai arah tujuan hidupnya ketika masih ada pemuka agama dan biarawan. Pemuka agama dan para biarawan sering kali menyampaikan ceramahnya, layaknya umat muslim yang mendapatkan ceramah dari para ustadz atau tokoh agama, yang selalu menyerukan untuk tetap sabar dalam menghadapi segala keadaan. Sehingga pemeluk agama mendapatkan pencerahan dari para tokoh agamanya.
Melihat keadaan yang semacam itu Karl Marx menganggap agama sebagai agen yang lebih aktif. Agama menurutnya lebih merupakan protes melawan penderitaan daripada alat untuk menentramkannya “agama”. Kata Marx. Merupakan keluh kesah makhluk yang tertindas, hati dunia yang tak berjiwa. Mereka menderita bukan Cuma menginginkan hiburan, tapi perubahan–akhir penderitaan mereka, jalan keluar. ”Penderitaan keagamaan”, katanya, ”salah satu dan pada saat yang sama merupakan ekspresi penderitaan riil dan protes melawan penderitaan riil tersebut .” Marx menyatakan bahwa agama merupakan alat yang tidak berguna karena agama sebagai pelariaan dari kelas proletar, agama sebagai kebahagiaan masyarakat ilusif yang merupakan kemestian demi memperoleh kebahagiaan yang riil. Ditekankan lagi oleh Marx bahwa agama merupakan keluhan makhluk yang tertindas, hati dunia yang tak berperasaan dan jiwa dari kondisi mati. Agama adalah candu masyarakat . Terlihat bahwa kelas proletar merupakan kelas yang tidak mempunyai alat produksi, kelas yang di eksploitasi tenaganya, dan tidak mendapatkan upah sebagaimana kerja mereka, disini kelas proletar benar-benar merasakan ketertindasan dan mereka mengabdikan dirinya pada agama dan tidak mau bekerja dan terus pasrah kepada Tuhannya.
Demikian pula Feuerbach berpendapat mengenai agama;
Theology is simply a mythical vision of human aspiration and that ” what man praises and approves, that is God to him; what he blames and condems is nondivine ”

Manusia memuji dan menerima segala sesuatu dari Tuhan kepadanya, dari suatu kesalahan yang telah diperbuatnya dan mendapatkan hukuman berupa kekuatan yang lebih tinggi (Tuhan, karma, kutukan) sehingga manusia hanya beranggapan bahwa itu merupakan ganjaran yang diberikan oleh Tuhan ataupun juga sebagai suatu cobaan kepada umatnya. Ia memaksakan menyerahkan diri di hadapan tuhan yang memiliki kekuatan yang lebih tinggi.

Pengaruh agama bagi masyarakat proletar benar-benar sangat besar, dan sangat sulit untuk dilenyapkan, karena agama telah melekat dalam diri di setiap manusia dan menjadi penghambat kaum borjuis untuk meningkatkan produktifitasnya. Sehingga agama itu perlu dilenyapkan karena merupakan alat kaum borjuis kapitalis (kelas penindas) mengeksploitasi kelas pekerja atau proletar. Marx berpendapat bahwa negara sebagai alat penindas menggunakan agama demi kepentingan mempertahankan kekuasaan. Agama digunakan oleh negara agar rakyat tetap terlena dan tidak memberontak dan selalu patuh kepada penguasa negara. Marx menunjukan fakta-fakta sejarah yang membenarkan pandangan itu. Ketika agama (Kristen) berkuasa di abad-abad pertengahan, prinsip-prinsip sosial kristen dijadikan alat pembenaran perbudakan, agama mensucikan perbudakan itu dan mempertahankan keberlangsungan penindasan terhadap kelas proletar . 

Kaum borjuis mengajak kelas proletar untuk berjuang dalam meningkatkan taraf hidupnya, namun disisi lain juga borjuis memanfaatkan ketergantunagn kelas proletar terhadap agama. Kaum buruh diperlakukan seakan-akan sebagai alat bantu produksi yang diperas habis-habisan untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya. Hasil yang diterima kaum buruh tidak lebih daripada sekedar untuk menyambung hidup. Sebaliknya kaum kapitalis yang karena menguasai alat-alat produksi tanpa harus bersusah payah mendapat keuntungan yang berlimpah-limpah. Kaum buruh hidupnya semakin tergantung pada kaum kapitalis. Dan kaum kapitalis semakin serakah menguasai kekayaan .
Sedangkan kelas proletar dalam agamanya masih dihembur-hemburkan oleh tokoh agamanya, untuk tetap sabar dalam menerima segalanya dan tetap rendah. Sehingga kelas proletar hanya bisa menyampaikan kekecewaannya pada Tuhannya dan pasrah–rela terhadap keadaan yang di alaminya. 

Musthafa Mahmud, Islam Kiri:Kebohongan Dan Bahayanya (Jakarta: Gema Insani,1999) hlm.7

Fatalisme: kepercayaan bahwa nasib menguasai segala-galanya (kamus orisinil: http://orisinil.com/wkamus.php)

Musthafa Mahmud, Op. cit. hlm.7-8

Franz Magnis Suseno, “editor: Prof. Dr. John Raines” Marx Tentang Agama.(Jakarta: Teraju, 2003) hlm. 235-236

Ibid. hlm. 242

Turner Jonathan Etal, The Emergence Of Sociological Theory (Wed Sorth: Publishing Company,1989) hlm.108

Ahmad Suhelmi, Pemikiran Politik Barat: Kajian Sejarah Perkembangan Pemikitan Negara, Masyarakat Dan Kekuasaan (Jakarta: Gramedia, 2007) hlm292-293

Freddy yuliharto, Gejolak Kapitalisme (Jakarta: Golden Terayon Press, 1989) hlm.17

Statistik Pengunjung

Socio Education

Merupakan Weblog tentang seputar materi ilmu sosial sebagai penunjang dan pelengkap edukasi.

  © Design Blog 'Ultimatum' by Socio Education 2020

Back to TOP