Entri Populer

Tampilkan postingan dengan label Birokrasi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Birokrasi. Tampilkan semua postingan

Kamis, 06 Maret 2014

Anggota Kontestasi Dari Negara Kontestasi


Kapan anda mengenal politik? kenapa saat SMA masih awam dengan politik?Pemahaman diranah politik di tingkat pendidikan menengah masih sangat dangkal. Kurikulum pendidikan diarahkan pada ranah pengetahuan kognitif dan keterampilan. Pelajaran  didominasi oleh hitungan, hitungan, hitungan, dan membaca. Mana diskusinya? mana menulisnya? tapi bukan itu maksud tulisan ini.

Politik sebagai salah satu implementasi sekolah, setuju? apakah selama ini yang telah lulus SMA sudah paham dengan politik? karena kita tahu setelah lulus SMA sudah mempunyai hak memilih caleg dan capres. Nah… masalah disini adalah yang memilih dan yang mau dipilih sama dari institusi pendidikan tingkat menengah yang tidak mengajarkan politik utuh, walapun ada pelajaran Kewarganegaraan tapi minat dan yang gemar dengan nuansa politik dan sosial sedikit.

Apakah legislatif negara ini terdiri dari orang-orang yang representatif dan negarawan? setahu saya banyak artis, pelawak, orang iseng, dan pengusaha yang membawa kepentingan golongan. Minimnya pemahaman politik dan ketatanegaraan membawa negara ini menjadi “negara kontestasi”. Anggota Dewan berlomba-lomba mengais rejeki dari ranah pengabdian masyarakat yang bukan koridor dalam meraih kekayaan. Hasilnya undang-undang tidak rampung-rampung dan pembangunan sosial entah mengarah kemana.

Perlukah politik masuk dalam kurikulum pendidikan tingkat menengah selain pelajaran Kewarganegaraan? Selama ini Pendidikan Karakter sudahkah mempunyai sense of politic? Ketika saya menanyakan dikelas tentang minat atau suka tidak dengan politik, jawaban mereka, tidak!, politik penuh dengan kejahatan, politik kotok dan busuk, politik penuh dengan kebohongan. 

Jika anda yang sangat paham politik apa benar politik seperti itu?. Saya tahu jawaban mereka seperti itu karena mereka sehari-hari mengkonsumsi  dari media massa yang memberitakan korupsi melulu.  Jika diajarkan “per-politik-an” yang sesungguhnya disekolah saya yakin bangsa ini tidak ada “anggota kontestasi” lagi.

Jadikan pelajar dan pemuda sebagai agent of change dalam masyarakat, memberikan konstribusi pikiran untuk pembangunan sosial sebagai penyeimbang pelajaran eksakta. Boleh ada pelajaran eksakta, tapi ajarkan mereka -pelajar dan pemuda- tentang birokrasi dan politik, karena setahu saya tidak ada sekolah menengah yang menyiapkan calon peneliti dan pembangunan sosial, yang ada selama ini sekolah menengah untuk jadi karyawan perusahaan.

Semoga Bermanfaat

Sabtu, 27 Juni 2009

Relevansi penjelasan Weber tentang birokrasi dalam perkembangan birokrasi saat ini?

Dalam The Theory of Social and Economic Organization, Weber mengemukakan tentang birokrasi yang mengidentifikasikan tiga tipe dasar legitimasi yang utama dalam hubungan otoritas, yang ketiganya dibuat berdasarkan tipologi tindakan social. Masing-masing tipe berhubungan dengan tipe struktur administratifnya sendiri dan dinamika sosialnya sendiri yang khusus. Tipe-tipe ini, dalam hubungannya dengan struktur administratif, adalah sebagai berikut[1]:
  1. Otoritas Tradisional

Dalam masyarakat Indonesia otoritas tradisional ini masih banyak ditemui di daerah-daerah terutama bagi masyarakat yang jauh dari perkotaan. Tipe otoritas ini berlandaskan “pada suatu kepercayaan yang mapan terhadap kekudusan tradisi-tradisi zaman dulu serta legitimasi status mereka yang menggunakan otoritas yang dimilikinya. Jadi alasan mengapa orang tersebut taat pada struktur otoritas ini karena mereka mengikuti dari nenek moyangnya dan sudah menjadi kebiasaan dalam masyarakatnya. Hubungan antara tokoh yang memiliki otoritas dan bawahanya pada dasarnya merupakan hubungan pribadi. Sebenarnya kunci untuk memahami dinamika sistem otoritas tradisional, adalah melihatnya sebagai suatu perpanjangan dari hubungan keluarga. Mereka yang patuh memiliki rasa setia pribadi kepada pemimpinnya yang sebaliknya mempunyai kewajiban tertentu untuk memperhatikan mereka. Walaupun pimpinan dan bawahanya terikat oleh peraturan-peraturan tradisional, masih ada keleluasan bagi atasannya secara pribadi dalam menggunakan otoritasnya dan dalam keadaan seperti itu bawahan terpaksa taat.
Dalam otoritas ini kita dapat menemuinya di Indonesia pada Suku Dani. Masyarakat Dani memiliki kerjasama yang bersifat tetap dan selalu bergotong royong. Setiap rencana pendirian rumah selalu didahului dengan musyawarah yang dipimpin oleh seorang penata adat atau kepala suku. Organisasi kemasyarakat pada suku Dani ditentukan berdasarkan hubungan keluarga dan keturunan dan berdasarkan kesatuan teritorial.[2] Dalam setiap pendirian rumahnya masyarakat Dani mempercayai perkataan dari kepal sukunya dan di anggapnya adalah utusan dewa.

  1. Otoritas Kharismatik

Di negara Indonesia pernah dipimpin oleh seseorang yang berjiwa kharismatik yang dapat menyihir orang lain untuk patuh dan taat kepadanya. Sebut saja K.H. Abdurahman Wahid atau akrab disebut Gusdur, yang pernah menjadi Presiden RI ke-4. Masyarakat mempercayai dari setiap kata-katanya dan sebagai sosok yang dapat merubah kehidupan bangsa. Otoritas ini didasarkan pada mutu luar biasa yang dimiliki pemimpin sebagai seorang pribadi. Otoritas seperti ini lain daripada bentuk otoritas biasa. Istilah “kharisma” digunakan dalam pengertian yang luas untuk menunjuk pada daya tarik pribadi yang ada pada orang sebagai pemimpin. Weber juga menghubungkan orang yang berjiwa kharismatik memiliki hubungan khusus kepada sang ilahi sehingga banyak para pengikutnya yang mempercayai perkataannya. Berbeda dengan otoritas tradisional yang di orientasikan kepada hal-hal yang rutin, stabil dan langgeng. Otoritas kharismatik cenderung dinamis dan mudah berubah-ubah. Jika mengadakan gerakan-gerakan yang dipimpin oleh kharismatik dan ketika pemimpinnya itu meninggal maka semangat dan otoritasnya pun menjadi bercabang.

  1. Otoritas Legal-Rasional

Otoritas ini didasarkan pada komitmen terhadap seperangkat peraturan yang diundangkan secara resmi dan diatur secara impersonal disebut Weber dengan istilah otoritas legal-rasional. Tipe ini sangat erat dengan otoritas rasionalitas instrumental yang dijadikan sebagai alat untuk mencapai tujuan dengan memilih sesuai pilihan. Namun otoritas ini berbeda dengan otoritas tradisional dan otoritas kharismatik. Otoritas ini dimana pemimpinnya memiliki suatu posisi sosial yang menurut peraturan yang berhak, dia didefinisikan sebagai orang yang memiliki posisi otoritas. Seleksi terhadap orang-orang untuk menduduki posisi otoritas ini atau posisi bawahan juga diatur secara eksplisit oleh peraturan yang resmi dan sah.[3]
Otoritas ini dipakai pada sistem pemilihan presiden di Indonesia pada Pemilu 8 juli 2009 dengan melalui tahapan-tahapan khusus untuk menjadi presiden. Adapun persyaratan yang harus dijalani adalah tes kesehatan. Dan harus memenuhi kriteria khusus untuk menduduki kursi nomer satu di Indonesia.


1. Doyle Paul Johnson di indonesiakan oleh Robert M.Z Lawang, Teori Sosiologi Klasik Dan Modern, (Jakarta: Gramedia Pustaka, 1994) hal. 227

2. Di lihat dari http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Dani (di akses pada tanggal 13 Juni 2009)

3. Doyle Paul Johnson, Op. Cit., hal.232

Statistik Pengunjung

Socio Education

Merupakan Weblog tentang seputar materi ilmu sosial sebagai penunjang dan pelengkap edukasi.

  © Design Blog 'Ultimatum' by Socio Education 2020

Back to TOP