Entri Populer

Jumat, 10 Februari 2012

Dugaan Piramida di Gunung Padang Mendekati Kenyataan


"Hasil dari International Conference on Indonesian Studies yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia di Inna Grand Bali Beach, Sanur memberikan sudut pandang yang semakin cerah terhadap perdebatan mengenai piramida yang menjadi kontroveersional tersebut. Bagaimanapun juga kita sebagai bangsa Indonesia harus optimis akan temuan-temuan peradaban bangsa Indonesia"


SANUR, (PRLM).- Setelah melakukan pengeboran secara diam-diam, Tim Katastropik Purba menemukan atap, lorong, dan material pasir di kedalaman 26 meter terkubur di Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat. Penemuan itu membuktikan gambar yang dihasilkan dari pemetaan geolistrik berupa piramida itu untuk sementara ini benar. Koordinator Tim Katastropik Purba sekaligus Staf Presiden Andi Arief mengatakan itu dalam International Conference on Indonesian Studies yang diselenggarakan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia di Inna Grand Bali Beach, Sanur, Kamis (9/2).

Menurut dia, susunan yang ditemukan diduga kuat atap piramida persis seperti hasil geolistrik. Saat ini, temuan tersebut akan dilanjutkan dengan tahap eskavasi. Untuk itu, ia meminta agar pihak-pihak lain untuk menahan diri tidak mengomentari hasil temuan sementara itu sebelum seluruhnya rampung. "Kita mengimbau para ahli yang tidak melakukan riset, untuk bersabar. Terbukti di Gunung Padang itu sesuatu yang tidak pernah kita bayangkan ternyata ada," ujarnya.



Dugaan adanya piramida di Gunung Padang juga berlaku untuk Gunung Sadahurip. Sebab, gambar hasil pemetaan geolistrik di Sadahurip juga hampir sama dengan gambar geolistrik di Gunung Padang. Oleh karena itu, ia tidak akan berhenti menelusuri keberadaan bukti-bukti arkeologi di kedua titik tersebut. Rencananya, pengeboran Sadahurip akan dilakukan mulai Maret mendatang. "Dari hasil geolistrik antara Gunung Padang dengan Sadahurip itu tidak begitu beda. Pembuktiannya nanti melalui pengeboran. Yang jelas, Gunung Padang hasilnya sama antara pengeboran dan geolistrik," ucapnya.

Andi mengaku bahwa upaya riset dan penelitian itu telah mendapat restu dari Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Oleh karena itu, upaya penelitian terkait itu akan terus dilakukan. Pekerjaan besar ini adalah yang pertama kali dilakukan di dunia karena terencana. Sejak masa kolonial berakhir, kata dia, penemuan arkeologi hanya berdasarkan faktor kebetulan semata. Misalnya karena kebetulan ditemukan oleh petani yang sedang mencangkul. kalau pada tahun 1800 saja ditemukan banyak bukti sejarah, kita kok sekarang sedikit sekali, lebih banyak karena cangkulan petani.



Terkait rencana pengeboran Sadahurip dan Gunung Padang, Pakar Genetika sekaligus penulis buku Eden in The East, Profesor Stephen Oppenheimer enggan berkomentar banyak karena dirinya tidak meneliti hal itu. Pada kesempatan itu, Oppenheimer hadir menyampaikan pidatonya terkait hasil temuannya tentang teori banjir besar yang menenggelamkan Sundaland (Benua Sunda) yang merupakan wilayah Asia Tenggara kini.

Dalam bukunya berjudul Eden in The East, Oppenheimer mengatakan bahwa peradaban Benua Sunda adalah awal mula dari peradaban maju yang ada di dunia. Hal itu ditandai dengan adanya penemuan sistem agrikultur dan peternakan yang telah maju sejak 16.000 tahun yang lalu.

Yang dimaksud dengan Sundaland oleh Oppenheimer yaitu melingkupi Indonesia kecuali Sulawesi dan Papua yang berbeda lempeng bumi, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand, dan negara Asia Tenggara lainnya saat ini. Wilayah Asia Tenggara semula berada di satu daratan, namun terpisah setelah didera banjir besar berupa kenaikan muka air laut akibat es di kutub utara yang mencair.



Banjir besar itu terjadi tiga kali, yaitu yang pertama terjadi pada 14.500 tahun yang lalu yang menenggelamkan sebagian wilayah Jawa sehingga membentuk Pulau Jawa terpisah dari Kalimantan dan Sumatera yang terpisah oleh Laut Jawa dan Selat Sunda. Selain itu, banjir besar periode pertama itu juga menenggelamkan sebagian utara Kalimantan dan Sumatera sehingga membentuk Pulau Sumatera terpisah dengan Malaysia dan Kalimantanserta terbentuknya Laut China Selatan. Banjir kedua terjadi pada 11.500 tahun lalu dan banjir ketiga terjadi pada 8.400 dan 7.250 tahun lalu. "Ketiga banjir besar itu

Andi meminta agar tidak mengkait-kaitkan penelitian Tim Katastropik Purba dengan teori Oppenheimer tersebut. Menurut dia, justru penelitian itu dilakukan untuk menambah bukti-bukti baru yang mendukung teori Oppenheimer.

Selain Oppenheimer, konferensi itu juga dihadiri 150 peneliti budaya dari berbagai negara, di antaranya Vietnam, Kenya, Tunisia, Azerbaijan, Denmark, Jerman, Turki, Ukraina, Perancis, dan lainnya. Konferensi akan berlangsung hingga Jumat (10/2) malam dan dibuka oleh Dirjen Kebudayaan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Ukus Kuswara, Rektor Universitas Indonesia Gumilar Rusliwa Soemantri didampingi oleh Dekan FIB UI Dr. Bambang Wibawarta.


sumber:http://www.pikiran-rakyat.com/node/176258


Lihat juga Kajian Sosiologi Nusantara: Heboh Isu Piramida di Garut, Jawa Barat


Kamis, 09 Februari 2012

Kajian Sosiologi Nusantara: Heboh Isu Piramida di Garut, Jawa Barat

"Kini Indonesia hangat dibincangkan dengan temuan Piramida di Garut Jawa Barat, konon lebih besar dan lebih tua dari Piramida Giza di Mesir. Temuan ini menarik seorang ahli genetika dan struktur DNA manusia dari Oxford University Prof. Stephen Oppenhaimmer penulis buku Eden In The East untuk ikutserta dalam Sarasehan di Bali 9 Februari dan juga Presiden Susilo Yudhoyono merestui tentang penyidikan oleh Tim Studi BKP. Lantas seberapa kuatkah fenomena sosiologi nusantara tersebut?"



"Piramida" di Garut Belum Kesimpulan Akhir




Tim peneliti akan menyimpulkan jika pengeboran dan eskavasi selesai dilakukan.



artikel dari teknologi.vivanews.com


Kontroversi temuan bangunan mirip piramida di sejumlah tempat di nusantara akan dipaparkan dalam sarasehan bertajuk "Mengungkap Tabir Peradaban dan Bencana Katastropik Purba di Nusantara untuk Memperkuat Karakter dan Ketahanan Nasional", di Gedung Krida Bhakti, Sekretariat Negara, pada 7 Febuari 2012.

Sarasehan itu akan menghadirkan para ahli geologi dan bidang ilmu lainnya yang selama ini meneliti Gunung Padang dan Gunung Sadahurip di Jawa Barat, serta sejumlah tempat lainnya di nusantara.



Seperti diberitakan, untuk membuktikan dugaan para ahli itu, sejumlah riset telah dilakukan di Gunung Sadahurip dan Gunung Padang, antara lain melalui georadar, geolistrik, foto kontur dan foto IFSAR. Kini, tahap selanjutnya akan dilakukan pengeboran mendalami batuan di sejumlah tempat itu.

“Kemungkinan pada Maret nanti sebagai eskavasi awal, akan kami selidiki batuan di dalamnya,” kata salah satu anggota tim, Ir Iwan Sumule kepada VIVAnews.com, Senin, 30 Januari 2012. Sebelumnya, kata Iwan, pengeboran telah dilakukan, namun pada Maret nanti akan dilakukan ke lapisan yang lebih dalam.


Staf Khusus Presiden Bidang Bencana dan Bantuan Sosial Andi Arief mengatakan sarasehan itu bertujuan memaparkan hasil kerja Tim Riset Katastropik Purba selama ini. "Saresehan ini adalah bagian dari agenda Tim Katastropik Purba, yang telah bekerja keras selama ini", ujarnya kepada VIVAnews, Selasa 31 Januari 2011.


Belum menyimpulkan

Andi Arief mengatakan tim peneliti, yang sebagian besar geolog senior dari ITB, belum sampai pada kesimpulan di dalam Gunung Sadahurip dan Gunung Padang terdapat "piramida" yang lebih tua dari piramida Mesir. "Kesimpulan baru bisa diperoleh setelah semua langkah riset ilmiah dilakukan, termasuk pengeboran dan eskavasi," ujar Andi.

Sarasehan besok lusa itu, kata Andi, akan membahas semua hal berkaitan dugaan adanya bangunan "piramida". "Meskipun temuan awal cukup kuat mengarah ke soal adanya piramida, kita tetap mengacu pada fakta empirik. Jalannya hanya melalui pengeboran dan eskavasi," ujar Andi.

Informasi itu sekaligus mengkoreksi pemberitaan sebelumnya bahwa tim telah sampai pada kesimpulan adanya bangunan menyerupai piramida di Gunung Sadahurip dan Gunung Padang.

Sebelumnya dikatakan dua geolog telah berkesimpulan di Gunung Padang dan Sadahurip ada piramida. "Dr Andang Bachtiar dan Dr Danny Hilman belum memberi kesimpulan bahwa di dalam Gunung Sadahurip ada bangunan 'piramida'," ujar Andi.

Yang benar, tim itu sedang meneliti banyak sekali fenomena kebencanaan purba termasuk di Gunung Padang dan Gunung Sadahurip. Tapi sejauh ini penelitian di Sadahurip masih terus berlanjut, dan masih belum menyimpulkan ada atau tidaknya "piramida" di sana.



Penelitian tentang kebencanaan purba di sejumlah lokasi itu bertujuan melengkapi data-point statistik daur ulang kebencanaan. Informasi itu sangat bermanfaat dalam upaya prediksi ilmiah kebencanaan, baik besaran, lokasi, dan juga waktu ulangnya.

"Selain itu bertujuan mempelajari persepsi, cara tindak, dan rekaman kebudayaan masa lalu terkait mitigasi bencana, yang seringkali dibahasakan sebagai kearifan lokal," ujar Andi.

Dikatakan, fokus utama sarasehan besok bukan pada Gunung Sadahurip saja, tetapi juga hasil sementara penelitian di daerah lain yang sudah jauh lebih maju status penelitiannya dibanding Sadahurip. Antara lain di Banda Aceh, setelah daerah itu disapu bencana dahsyat gempa dan tsunami pada 2005. Lalu juga situs di Trowulan, Batujaya, dan Gunung Padang.

"Tentu, di bagian akhir, sarasehan akan membahas kemajuan penelitian di Gunung Sadahurip sebagai pelengkap," ujar Andi menambahkan.


Selain sarasehan, hasil temuan Tim Katastropik juga akan dibahas dalam pertemuan kebudayaan internasional di Bali, 9 Februari mendatang, yang digarap oleh Universitas Indonesia.

Dikatakan, ilmuwan Oxford, Inggris, Prof Dr Stephen Oppenheimer, penulis buku laris "Eden in the East" juga tertarik dengan keberadaan "piramida" di Gunung Sadahurip dan Gunung Padang, dan akan hadir di pertemuan Bali itu.




Lihat "Atlantis Itu Indonesia" Sebuah Kajian mengungkap Filsuf Plato tentang Benua Atlantis yang hilang.

Jumat, 03 Februari 2012

Menelaah Artikel Kompasiana: "Zainab Al-Khawaja, Ratu Twitter dari Bahrain"


"Isu terkait akun Twitter di Indonesia yang akan dihapuskan tidak akan berjalan dengan semestinya, banyak alasan mengatakan Indonesia adalah negara demokratis tinggi, yang bisa berpendapat melalui jejaring sosial, hal ini tidak berdampak pada gerakan revolusi yang mulai bergema di Indonesia. Lantas kenapa Twitter di Indonesia akan dihapuskan?" Oleh: Nurul Hidayat



Gerakan pro demokrasi menggunakan media jejaring sosial terbukti cukup efektif menjatuhkan sejumlah diktator di Timur Tengah. Mereka yang telah menjadi korban efektivitas media jejaring sosial itu, antara lain Ben Ali, Presiden Tunisia yang melarikan diri ke Arab Saudi, disusul Presiden Mesir Hosni Mubarak, pemimpin Libya Moammar Gaddafi, Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh, dan kini yang sedang berada di ujung tanduk adalah Presiden Suriah.


Keberhasilan gerakan pro demokrasi di sejumlah negara Arab itu, menginspirasi sejumlah aktivis anti monarki Bahrain yang menggunakan Twitter untuk menumbangkan raja mereka. Aksi itu dimotori oleh Zainab Al-Khawaja. Dia adalah seorang aktivis HAM sekaligus blogger terkemuka di negara tersebut. Akibat aksi penggalangan massa via Twitter, akhirnya dia ditahan polisi saat berlangsungnya protes di Manama, Jumat (16/12/2011) tahun lalu.



Zainab Al-Khawaja adalah putri seorang tokoh oposisi terkenal di negara itu. Dia memiliki akun twitter dengan nama @angryarabiya. Saat kerusuhan itu terjadi, dia tidak mau beranjak dari bundaran jalan raya Budaiya. Kabarnya dia menolak untuk meninggalkan bundaran yang terletak di sebelah barat kota Manama itu sampai akhirnya polisi menangkap Zainab.

Tribunjogja.com, Jumat (16/12) melaporkan tentang penangkapan Zainab Al-Khawaja: Dia diborgol dan dibawa pergi oleh polisi bersama dengan setidaknya satu pengunjuk rasa wanita lain. Zainab sempat menulis tweets: “Saya duduk di bundaran jalanan Budaiya, mereka berteriak turunkan Hamad, dan seketika polisi anti huru hara tampaknya tidak tahu harus berbuat apa. Seorang gadis telah bergabung dengan saya sekarang.”



Solidaritas kepada Zainab Al-Khawaja terus mengalir memenuhi timeline twitter, baik timeline sahabat-sahabat dan pendukungnya. Mereka menulis #FreeForBahrain, #FreeZainab #Bahrain dan banyak komentar yang mendukung gerakan pro demokrasi yang sudah berlangsung sejak 10 bulan lalu. Dukungan itu bukan hanya dari tweeps di negara itu, malah berdatangan hampir dari seluruh dunia.

Fenomena itu barangkali yang membuat Pangeran Al Waleed bin Talal, anggota Kerajaan Arab Saudi begitu khawatir, sehingga dia menginvestasikan dananya kepada mikroblog Twitter. Dengan kekuatan uang, dia dengan mudah dapat membungkam kekuatan Twitter di negaranya.

Tanda tanya orang terhadap motivasi Pangeran Al Waleed bin Talal membeli saham Twitter akhirnya terjawab. Tidak lama kemudian, Twitter yang salah satu pemiliknya adalah keluarga Kerajaan Arab Saudi itu, menyatakan akan mulai membatasi tweets di negara tertentu. Dapat dipastikan, salah satu negara yang tidak bebas lagi untuk berkicau (tweets) adalah di Arab Saudi.



Mungkinkah pembatasan semacam itu akan diikuti oleh negara lain, Indonesia misalnya. Sepertinya, Indonesia yang sudah berada dalam alam demokrasi, tentu tidak ada untungnya mengambil langkah ini. Pembatasan terhadap kebebasan berpendapat melalui media jejaring sosial pasti akan mencederai demokrasi itu sendiri.

Lebih-lebih Twitter merupakan media jejaring sosial terbanyak kedua setelah Facebook yang digunakan oleh orang Indonesia. Kompasdotcom (9/11/2011) menulis bahwa Twitter dan Facebook digunakan oleh 47 juta warga Indonesia. Angka yang sangat besar untuk melakukan sebuah pembatasan. Pastinya, Indonesia bukan Timur Tengah yang otoriter dan selalu khawatir dengan gerakan pro demokrasi.

dikutip dari http://media.kompasiana.com/new-media/2012/02/01/zainab-al-khawaja-ratu-twitter-dari-bahrain/

UNJ Diterpa Badai Korupsi, Perlu Reformasi Birokrasi



Oleh: Syaifudin*

Jangan Tuan terlalu percaya pada pendidikan sekolah. Seorang guru yang baik masih bisa melahirkan bandit-bandit yang sejahat-jahatnya, yang sama sekali tidak mengenal prinsip. Apalagi kalau guru itu sudah bandit pula pada dasarnya.
(Pramoedya Ananta Toer - Jejak Langkah)

Dalam perjalanan IKIP Jakarta hingga kini (Universitas Negeri Jakarta), kiranya kasus korupsi yang mencuat di media massa (sumber: www. republika.co.id atau www.detiknews.com) baru-baru ini membuat geram seluruh sivitas akademika UNJ. Bagaimana tidak, belum lama kita memperingati hari guru, dan memuji tinggi-tinggi nama mulia tersebut, tetapi justru institusi pendidikan yang melahirkan para guru ini mendapat kado yang sangat tidak mengenakan, bahkan tragis. Namun inilah realitas.

Dimana di tengah genderang perang bangsa ini terhadap masalah korupsi sebagai musuh bersama. Justru masalah ini terjadi dilingkungan institusi pendidikan yang melahirkan para calon guru. Ironis. Sepertinya memang gejala korupsi sudah tidak mengenal batas lagi, menerobos tanpa melihat status dan fungsi.

Dalam dua media massa tersebut tertulis bahwa terdapat dua oknum UNJ yang dinyatakan tersangka oleh Kejaksaaan Agung (Kejagung) pada 29 November 2011 dengan mendasarkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) Nomor 161/F.2/Fd.1/11/2011 dan Sprindik Nomor 162/F.2/Fd.1/11/2011, bisa jadi hanya satu dari sekian oknum yang terlibat. Apalagi ini bicara mengenai sistem birokrasi. Tentu saja segala tata pelaksanaan tidak semata diketahui dan dijalankan oleh satu atau dua orang saja, tetapi secara birokratis.

Kini UNJ sedang didepan “front stage” dengan topeng yang terbuka. Impression management (meminjam istilah Erving Goffman dalam teori dramaturgi) sudah mencapai kebuntuhan akal, sehingga keaslian dari wajah itu benar-benar terlihat. Masalah korupsi tender laptop dan alat laboratorium merupakan sekian dari banyak masalah yang terungkap.

Kita tentu masih ingat mengenai masalah dana wisuda semester genap lalu yang mencapai 2 miliar (hasil pembiayaan dari 2794 wisudawan), namun ternyata pelaksanaan wisudanya banyak dikeluhkan oleh para wisudawan karena tidak sesuai dengan dana yang mereka keluarkan. Lalu pertanyaanpun muncul disetiap benak mahasiswa, alumni, dan orang tua mahasiswa UNJ, kemana dana wisuda 2 miliar itu dengan kondisi wisuda seperti ini? Pertanyaan lain juga dilontarkan pada “dana alumni”, yang kalau dirasakan tidak ada kegiatan yang diketahui oleh para mahasiswa. Hal ini tentu berbeda dengan organisasi Ikatan Alumni UI (ILUNI UI) yang aktif selalu mengadakan kegiatan bagi kemajuan mahasiswa dan alumninya. Lalu bagaimana dengan Ikatan Alumni UNJ, bersama dananya? Seperti bayangan, yang tak tampak eksistensinya. Lalu mahasiswa juga selalu mempertanyakan tata kelola uang dan fasilitas perparkiran di UNJ, yang dinilai terlalu komoditis dan tertutup sekali. Namun yang jelas masih banyak lagi masalah yang ada di kampus hijau ini.

Subsistem yang aktif dan reformasi birokrasi

Permasalahan yang membuat citra buruk kampus hijau ini memang sudah terjadi. Pertanyaannya adalah bagaimana mengangkat citra baik UNJ kembali sebagai institusi pendidikan yang melahirkan para calon guru ini? Apakah lantas kita saling menikam, dan menghakimi, hingga tidak menemukan solusi tapi yang ada rasa egoisitas dan malu menjadi warga UNJ? Atau coba berpikir bijak atas badai masalah ini? Yang jelas kita harus bangkit dari badai masalah ini.

Masalah ini sesungguhnya bersifat struktural fungsional. Di mana asumsi utamanya yaitu melihat bahwa sivitas akademika sebagai sebuah sistem yang di dalamnya terdapat sebuah subsistem. Di mana subsistem ini memiliki fungsinya masing-masing dan tidak dapat digantikan. Dengan kata lain, pada perspektif ini menganalogikan sivitas akademika seperti sebuah sistem organik atau organisme manusia yang merupakan satu-kesatuan yang memiliki fungsi dan tugasnya masing-masing. Apabila salah satu subsistem ini tidak berfungsi maka subsistem yang lain pun mengalami kondisi yang abnormal atau tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Pada konteks sistem organik di UNJ sendiri, subsistem itu bisa dibagi dalam beberapa bagian. Pertama, subsistem stake holder, dalam hal ini pemegang dan pembuat kebijakan baik tingkat Universitas, Fakultas sampai Jurusan, seperti Rektor, Kepala UPT, Pimpinan Fakultas-Jurusan, Dewan Senat, dan Guru Besar (Lihat statuta UNJ BAB IX mengenai susunan organisasi yang termaktub dari pasal 23 sampai 49). Kedua, subsistem pendidik atau dosen. Ketiga, subsistem mahasiswa, dan Keempat subsistem alumni (Lihat statuta UNJ BAB X mengenai mahasiswa dan alumni yang termaktub dari pasal 50 sampai 55).

Berangkat dari pembagian subsistem di atas. Di sini terlihat bahwa pada hakikatnya pencapaian “goal” UNJ tergantung dari bagaimana subsistem itu berjalan sebagaimana mestinya. Visi, misi dan tujuan UNJ tidak akan terwujud secara optimal apabila ada yang bermasalah pada salah satu subsistem atau mungkin semua subsistem bermasalah.

Berdasarkan pembahasan singkat mengenai sistem organik UNJ di atas, penulis sedikit berefleksi atas badai masalah ini. Pertama, masalah ini kiranya perlu mendapatkan perhatian serius dari para Dewan Guru Besar UNJ (jika mengacu pada statuta UNJ BAB IX pasal 28, bahwa Senat UNJ diketuai oleh Rektor sendiri, jadi penulis lebih baik dan berharap kepada Dewan Guru Besar UNJ) yang memiliki fungsi dalam mengontrol para pimpinan kampus - sebagaimana peran aktif para dewan guru besar UI manakalah Rektor UI dinilai salah dalam memberikan gelar doctor honoris causa kepada raja Arab. Di mana peran dewan guru besar UNJ ini mempertanyakan duduk perkara yang menderah kampus ini. Jika ditemukan keganjilan atau kesalahan pada para pimpinan UNJ ini, maka kiranya perlu adanya reformasi birokrasi guna menyelamatkan dan membersihkan nama baik UNJ. Dengan demikian - mengacu pada semangat bushido Jepang - pimpinan UNJ yang dirasa gagal menjalankan amanahnya harus memiliki jiwa kesatria untuk mundur dari kursi kepemimpinannya. Apalagi UNJ selalu giat melaksanakan seminar “Pendidikan Karakter” yang isinya mengajarkan kepada para peserta untuk berkarakter (salah satunya berjiwa kesatria). Kegiatan ini tentu akan menjadi adagium “menepuk air didulang, terpercik muka sendiri” atau “telunjuk lurus, kelingking berkait”.

Kedua, peran aktif dosen UNJ sendiri. Sikap apatis dan sinis atas masalah yang menderah UNJ tentu harus dihilangkan dari dalam benak para dosen ini. Justru perlu kerja keras untuk memberikan pencerahan kepada mahasiswa untuk berpikir kritis dan tentunya objektif dalam menilai setiap masalah yang ada di UNJ ini. Selain itu juga para staf pengajar ini harus menjadi satu barisan dengan perjuangan mahasiswa. Pasalnya selama ini mahsiswa selalu berjuang sendiri tanpa dukungan dosen, sehingga selalu kalah dalam memperjuangkan masalah kebenaran di kampus hijau ini. Apalagi dosen bukanlah semata seorang tukang yang fungsinya mengajar ilmu pengetahuan saja, tetapi ia juga aktor intelektual transformatif. Bagaimana mahasiswanya dapat kritis dan aktif kalau orang yang diguguhnya (dosen) saja apatis dan sinis atas masalah dikampus tempatnya bekerja dan lebih sibuk mementingkan masalah proyek diluar daripada mengembangkan kualitas pengetahuan, dan nalar kritis mahasiswanya.

Ketiga, peran aktif mahasiswa - mahasiswa di sini bukanlah dalam arti mahasiswa elemen sipil, eksekutif, dan legislatif, serta sarjana-pascasarjana, tapi semua mahasiswa yang kuliah di UNJ memiliki peran dan tangung jawab yang sama. Nama mahasiswa selalu diidentikkan sebagai aktor perubahan progresif. Namun tidak sedikit (bahkan sangat banyak) mahasiswa UNJ yang apatis dan sinis atas masalah yang menderah UNJ. Mereka lebih asik nongkrong, main kartu, bernyanyi, kuliah, dan merokok, dibandingkan berpikir dan bergerak terhadap permasalahan dikampusnya - ketika ada masalah baru mereka spontan bereaksi bahkan menghakimi tanpa berefleksi. Sebaliknya hanya sedikit mahasiswa yang mau menyeruhkan dan bergerak (berdemonstrasi) menyatakan sikap mereka atas kebobrokan yang melanda kampusnya, seperti masalah BHP, BLU, IDB, kenaikan biaya kuliah, kenaikan biaya wisuda, dan lain sebagainya. Sebab masalah UNJ merupakan “snowball” dari masalah-masalah yang tersistematiskan, dan bukan masalah yang timbul begitu saja. Jika memang yang lebih mendominasi mahasiswa apatis di kampus ini, maka semakin bebaslah gerak para oknum-oknum di kampus ini melalui hegemoninya melahap hak-hak mahasiswa itu sendiri.

Keempat, peran aktif alumni. Selepas dari kampus dan menyandang gelar alumni, bukan berarti rejim tanggung jawab terhadap kampus selesai dan hilang begitu saja. Justru selain dosen, peran alumni juga sangat dinantikan oleh mahasiswa untuk masuk dalam barisan sabagai pengontrol dan pengawas segala kebijakan kampus yang dinilai tidak sesuai dan dan menyimpang. Walaupun dalam statuta penjelasan mengenai alumni (Pasal 55) tidak signifikan peranannya - hanya semata penjelasan peran yang normatif, tetapi sikap tanggung jawab kepada almamater sebagai pengawas dan kontrol diluar kampus harus tetap berjalan, dan tidak lantas terbuai dalam dunianya sendiri - minimal turut memberikan pencerdasan kritis kepada adik-adiknya yang masih kuliah untuk bergerak dan tidak pasif, bahkan kalau perlu alumni memfasilitasi dan memediasi aksi mahasiswa manakalah tidak ada dosen yang mau mendampingi mereka.

Dengan adanya perpaduan antara keempat subsistem di atas, maka harapan seluruh sivitas akademika UNJ terhadap kampus yang bersih dari korupsi dan ketidakadilan dapat menjadi kokoh. Jika kita bayangkan kapitalisme dan korupsi di area pendidikan sebagai satu gedung, maka institusi pendidikan di Indonesia bahkan dunia adalah tiang-tiang yang mendukung gedung itu, maka UNJ merupakan salah satu dari tiang-tiang itu. Selain itu semua sivitas akademika juga mengetahui bahwa cepat atau lambat gedung itu sekali waktu akan runtuh seluruhnya. Akan tetapi realisasi runtuhnya serta cara bagaimana runtuhnya, dan kapan runtuhnya, hanya praktik yang akan mengetahui dan menentukannya. Sangat mungkin bahwa semua tiang akan serentak tumbang dan bersama-sama dengan itu juga robohlah seluruh bangunan. Akan tetapi mungkin juga bahwa tiang-tiang itu tidak tumbang serentak, tetapi berurutan. Sekali lagi tergantung bagaimana kita menjalankan praktik mulia ini.

Kiranya inilah tulisan refleksi penulis yang sedih melihat almamaternya diderah badai hebat yang memporak-porandakan citra baik almamaternya. Karena nilai setitik rusak susu sebelangga, karena ulah beberapa oknum seluruh sivitas UNJ (dosen, mahasiswa, alumni) kena getahnya - harus menanggung beban dosa dan cacian dari subsistem diluar kampus UNJ. Semoga almamater pelahir guru dan penggerak peradaban bangsa ini dapat bangkit dari keterpurukan yang melandanya. Seorang filsuf pernah mengatakan bahwa “Luka hanya bisa sembuh melalui lembing yang menikam kita”, maksudnya karena suatu oknum membuat citra UNJ buruk, tetapi didalam UNJ jugalah citra buruk itu akan hilang. Sehingga UNJ dapat terus melahirkan para calon guru bangsa yang berkualitas dan (benar-benar) berkarakter. SAVE UNJ FROM CORRUPT……

*Alumni dan rakyat yang mencintai UNJ.

Tulisan ini hanya sebatas refleksi dan kepedulian penulis terhadap almamaternya.

Jakarta, 02 Desember 2011.

Kamis, 02 Februari 2012

Telaah Sosiologi Organisasi: KSR PMI UNJ Dalam Konteks Historis

Tugas Uas Organisasi Ksr Pmi Uj

Statistik Pengunjung

Socio Education

Merupakan Weblog tentang seputar materi ilmu sosial sebagai penunjang dan pelengkap edukasi.

  © Design Blog 'Ultimatum' by Socio Education 2020

Back to TOP