Entri Populer

Rabu, 13 April 2011

Warung Wong Reang: Interaksi Berbahasa Indramayu

Pengantar


Tulisan ini berupaya mengangkat fenomena yang terjadi di salah satu warung Jalan Pemuda. Dalam pengamatan etnografi warung ini tidak jauh berbeda dengan warung lain pada umumnya, hanya yang membedakan adalah cara bicara penjual-pembeli yang menggunakan bahasa Indramayu. Hal ini yang menjadi alasan mengapa mengambil tema tersebut, pada mulanya sekitar bulan Agustus tahun 2008 ketika penulis baru datang ke Jakarta untuk melanjutkan kuliah di Universitas Negeri Jakarta, penulis membeli mie rebus di malam hari sekalian menghabiskan waktu malam dengan berinteraksi dengan warga sekitar karena warung merupakan media yang tepat. Dan dari interaksi tersebut terjadi komunikasi dua arah yang mulanya menggunakan bahasa Indonesia, akan tetapi setelah mengenal satu sama lain asal daerah maka perbincangan dua arah itu menjadi menggunakan bahasa Indramayu. Bukan hanya satu-dua pembeli akan tetapi mayoritas pembeli yang hadir saat itu menggunakan bahasa Indramayu. Jika terus diamati tentunya disebabkan oleh beberapa faktor yang menjadikan warung ini bernuansa dengan bahasa Indramayu dan warung tersebut tidak sengaja diwajibkan menggunakan bahasa Indramayu akan tetapi hal ini disebabkan tumbuhnya akan rasa etnosentrisme kedaerahan.

Selintas dibenak kita akan arti warung sebagai tempat berjualan barang-barang, makanan, dan alat-alat yang menyediakan kebutuhan masyarakat. Warung juga sebagai media interaksi dan sosialisasi masyarakat yang saling bertukar informasi ketika melakukan aktivitas jual beli. Warung memiliki beragam jenis penjualan, jenis warung akan diketahui berdasarkan barang yang dijual di warung tersebut. Misalkan warung kopi, isi dalam warung kopi adalah beragam jenis kopi walaupun tidak seutuhnya menjual kopi, dalam warung kopi tersebut bisa menjual teh, susu, dan biasanya warung kopi menjual mie rebus dan mie goreng. Warung dijadikan tempat yang cocok untuk saling berinteraksi dan berkumpulnya masyarakat. Berkumpulnya masyarakat dalam satu tempat membentuk suatu komunitas yang secara tidak sadar membuat kelompok sosial. Kelompok sosial terbentuk berdasarkan kesamaan tujuan, nasib, sejarah dan satu seperjuangan. Komunitas warung tersebut jika ditelisik konsumennya adalah orang-orang pangkalan truk, warga sekitar, dan juga dari pendatang daerah, terutama pemulung asal Indramayu.

Sedangkan istilah “wong reang” diambil dari bahasa Indramayu, kalau diartikan dalam bahasa Indonesia “wong” artinya orang dan “reang” artinya saya atau kita. Orang Indramayu menyebut dirinya sendiri dengan nama “reang”, ketika orang Indramayu bertemu dengan orang lain yang paham dengan nama “reang” maka orang tersebut pasti menafsirkan kalau dia berasal dari Indramayu. Jadi “wong reang” adalah orang kita, bisa diartikan juga sebagai orang Indramayu. Kita bisa melihat kalau warung tersebut adalah komunitas orang Indramayu walaupun tidak semuanya berasal dari Indramayu, akan tetapi orang-orang di warung tersebut rata-rata bisa berbahasa Indramayu. Pemilik warung berasal dari Sindang Laut, Kabupaten Cirebon. Karena mayoritas pengunjung berasal dari Indramayu maka bahasa yang digunakan di warung tersebut adalah bahasa Indramayu, atau bahasa Jawa Kasar. Pengunjung warung tersebut adalah supir dan kernet truk yang mangkal di tempat tersebut. Kebetulan letak warung dan pangkalan truk bersampingan maka warung ramai di kunjungi oleh orang-orang Indramayu. Sebutan ini yang menjadi perubahan perbincangan yang mulanya dengan bahasa Indonesia menjadi menggunakan bahasa Indramayu.


Setting Warung dan Pangkalan Truk


Letak warung berada di pinggiran sungai RT.003 RW.02 Kelurahan Rawamangun Kecamatan Pulo Gadung dan juga samping Jalan Assalam atau dulu daerah tersebut lebih dikenal sebagai pangkalan truk. Daerah tersebut pada tahun 1980-an merupakan rawa-rawa dan masih banyaknya tanaman milik warga, seperti singkong, pisang, dan mangga. Akses jalan ke warga hanya bisa dilalui dengan jalan kaki karena pada saat itu belum dibangun jembatan. Namun pada tahun 1990 tanaman milik warga tersebut digusur akibat pembuatan jalan baru dan perluasan jalan arah Pulo Gadung-Rawasari. Lahan bekas timbunan tanah menjadi arena yang dimanfaatkan oleh warga setempat untuk membuka lapak dagangan, seperti pedagang nasi ayam goreng/bakar, dan membuka warung-warung kecil. Pada tahun 2008 pangkalan truk pindah ke dekat warung dan samping sungai, dulunya pangkalan truk menempati lahan yang sekarang dijadikan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Jalan Pemuda, pada saat itu juga dibangun Jalan Assalam sebagai perluasan dari bangungan Plaza Toyota Pemuda. Berikut ini adalah penuturan Abah Udin seorang imam Masjid Assalam yang menceritakan lahan tersebut.

“waktu tahun 1980-an samping jalan itu adalah rawa-rawa dan tanaman milik warga, yang sengaja di tanam untuk memanfaatkan lahan kosong, tapi setelah pembangunan jalan baru ada, pangkalan truk jadi pindah kesitu”.

Jalan Pemuda 1 terkenal dengan julukan pangkalan truk karena sudah ada sejak tahun 1980an dan truknya berjejer disamping Jalan Pemuda. Keberadaan pangkalan truk menjadi tidak menentu ketika terjadi penertiban jalan karena mengakibatkan kemacetan di Jalan Pemuda dan mengusir beberapa truk untuk pindah pangkalan. Setelah itu truk banyak yang terpencar akan tetapi masih berada disekitar Jalan Pemuda. Keberadaan pangkalan truk yang ada di samping jalan membuat warung menjadi semakin ramai dikunjungi.

Warung tersebut tidak memiliki nama khusus, terletak di samping Jalan Assalam dan tidak jauh dari Masjid Assalam. Dan juga letaknya tidak jauh di samping jalan menuju Pulo Gadung dari arah Rawasari. Dilihat dari Jalan Pemuda 1 memang tidak begitu jelas, karena kondisi warung yang tertutup dan tidak begitu besar. Ada dua pangkalan truk di Jalan Pemuda 1, pertama yang di jembatan penyebrangan dekat dengan Universitas Ibnu Chaldun, dan satunya lagi dekat dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH). Untuk menemukan warung ini kita temukan terlebih dahulu pangkalan truk di Jalan Pemuda 1, dekat dengan Ruang Terbuka Hijau (RTH) lampu merah Pramuka-Pemuda. Warung ini akan terlihat jelas manakala kita memasuki Jalan Assalam, jalan di samping Plaza Toyota Pemuda. Samping kiri warung terdapat konter pulsa, dan konter pulsa tersebut tepat di samping Jalan Assalam, samping kanan warung terdapat pangkalan truk, sedangkan depan warung terdapat tambal ban yang tepat di samping jalan arah Pulogadung. Dan belakang warung terdapat kali kecil ukurannya sekitar 3 meter dan kapasitas airnya tidak terlalu banyak.

Letak geografis warung yang di sisi kanan adalah pangkalan truk dan sisi kiri adalah Jalan Assalam menjadikan warung ini dapat diakses oleh pengunjung, serta warung tersebut dekat dengan pemukiman warga RT.003. warga tersebut menurut Bapak Kasdianto selaku Ketua RT.003 mayoritas berasal dari Jawa (wong wetan), dan termasuk di dalamnya berasal dari Indramayu dan Cirebon. Melihat berdasarkan jenis warung yang dijual yaitu kopi dan mie yang menjadi daya darik terutama pengunjung warung tersebut mayoritas adalah kaum lelaki, maka bapak-bapak warga yang berada di RT.003 lebih senang datang ke warung tersebut. Belum lagi letak strategis warung yang selain di samping jalan juga dekat dengan Masjid Assalam. Waktu yang ramai dikunjungi juga ketika menjelang waktu sholat isya, warga setempat yang setelah menunaikan ibadah sholat magrib lebih memilih ke warung daripada balik kerumah.

Warung ini menyediakan beragam macam minuman hangat dan muniman dingin, minuman hangat seperti kopi, susu, dan teh, sedangkan minuman dingin beragam macamnya. Warung ini juga menyediakan kebutuhan sehari-hari seperti sabun mandi, sabun untuk mencuci pakaian, dan jajanan ringan. Warung ini menjual rokok sebagai barang dagangan yang laku setiap harinya, teman saat berinteraksi dengan orang lainnya selalu ditemani dengan rokok dan minuman hangat. Dalam pengamatan rokok hampir tiap jam ada pembelinya, dan rokok merupakan barang dagangan yang sikulasinya sangat cepat. Pada malam hari kopi hangat menjadi menu utama yang selalu di pesan dan juga mie rebus sebagai makanan pelengkap di malam hari. Sedangkan di pagi hari kopi hangat membuat mata segar saat mulai beraktivitas, menu makanan memang hanya mie instan, ada juga roti yang seharga Rp.1000,- tidak ada makanan berat lainnya.

Warung ini berukuran 2×2,5 meter dengan alas tanah liat dan atap yang terbuat dari terpal warna orange dan dilapisi paling atas dengan seng berlapis plastik putih, gunanya untuk menahan panas dan hujan. Sisi-sisi warung hanya ditutupi dengan papan plastik dan tiang sisi warung terbuat dari kayu yang tebalnya sekitar 10 cm. Sisi paling belakang selain menggunakan papan plastik juga menggunakan spanduk bekas, gunanya menahan hujan yang deras agar tidak masuk ke dalam warung. Warung ini dibuat tidak permanen tujuannya agar ketika dibongkar tidak mengalami kerugian yang sangat besar, karena tanah di warung tersebut sebagai tanah sengketa sehingga pemilik warung sengaja membuat dari semen dan batu bata. Di dalam warung terdapat meja kecil ukuran 2 meter yang digunakan sebagai tempat dapur dan terdapat kotak dagangan yang terbuat dari kayu dan kaca setinggi 1,5 meter untuk meletakkan barang dagangan seperti rokok, sabun mandi, sabun untuk mencuci, mie instant dan kopi. Beragam rokok dipasang depan kotak dagangan, fungsinya agar dapat terlihat rokok yang tersedia di warung tersebut. Mie instan diletakkan di kotak dagangan barisan kedua, dengan posisi horizontal. Sedangkan beragam macam kopi digantung di sisi-sisi kotak dagangan, fungsinya memudahkan penjual untuk mengguntingnya saat ada pemesan. Tepat di samping kotak dagangan terdapat meja kecil yang digunakan untuk meletakan cooler box warna merah tempat menaruh minuman dingin. Di samping meja dapur ada meja kecil yang ukurannya sama dengan meja dapur, digunakan untuk meletakan bumbu masakan, seperti saus, kecap, minyak, dan kotak kerupuk berwarna biru.

Warung ini dilengkapi dengan televisi ukuran 14 inch yang diletakan diatas kotak dagangan dan meja ukuran panjang 2 meter dan lebar sekitar 70 cm, dengan dua bangku yang terbuat dari kayu digunakan untuk tempat makan dan duduk pembeli. Meja makan posisinya di depan kotak dagangan agar pembeli bisa melihat televisi, atap meja makan terbuat dari terpal warna biru yang menyambung ke terpal warna orange, sisi penyengga terpal warna orange terbuat dari bambu dengan diameter 5 cm dan sisi satunya diikatkan ke pohon cery yang terletak di depan warung. Terdapat bangku yang sengaja dibuat darurat, berfungsi ketika ada yang tidak kebagian tempat duduk karena banyaknya pengunjung. Bangku buatan darurat tersebut dibuat dari kayu-kayu yang tidak terpakai di desain seperti bangku, yang kuat digunakan untuk duduk. Sambil menemani terjalinnya interaksi sosial terdapat juga dua unit catur, satu catur berwarna hitam-putih dan satu caturnya lagi berwarna merah-putih. Catur yang berwarna hitam-putih ini di desain khusus untuk di meja makan, jadi ketika pengunjung yang ingin main catur sangat mudah sekali menggunakannya.

Fenomena Warung: Pengunjung Berbahasa Indramayu

Warung ini buka 24 jam nonstop, penjaga warung terdiri dari empat orang. Mereka bergantian setiap 6 jam sekali, jadwal jaga mereka dari pagi, siang-sore, malam dan dini hari. Empat penjaga warung tersebut semuanya adalah laki-laki yang paling muda umurnya berkisar 27 tahun dan paling tertua adalah 40 tahun. Tidak diketahui sistem bagi hasilnya bagaimana, yang jelas mereka adalah saudara. Pengunjung juga mayoritas adalah laki-laki, yang latar belakangnya supir, kernet, dan warga setempat yang ikut nongkrong di warung. Mereka menggunakan bahasa Indramayu atau bahasa Jawa Kasar, sebagian juga menggunakan bahasa Betawi. Tentunya nuansa kedaerahan “wong reang” menjadi kental di warung tersebut. Mereka secara tidak langsung membentuk suatu komunitas dengan bahasa Indramayu sebagai tanda bermakna.

Aktivitas yang terjadi di warung berupa jual-beli dan pemesanan seperti kopi dan mie, juga terjalin suatu bisnis tentang kontrak dan sewa truk oleh kliennya. Memang tidak pernah pudar sehari pun dialek bahasa Indramayu yang selalu digunakan, misalkan saja dalam perbincangan mengenai harga tawar-menawar menggunakan bahasa Indramayu. Ketika komunikasi yang terjalin dengan orang yang bukan dari Indramayu maka bahasa mereka yang digunakan adalah bahasa Indonesia tidak menutup kemungkinan bahwa dialek yang masih “medok” dengan logat Indramayu yang masih kental.

Pada aktivitas di pagi hari, sekitar pukul 06.00 wib suasana warung sudah mulai ramai dengan pesanan favorit di pagi hari yaitu kopi pahit-hitam, susu putih, jahe susu dan kopi mix. Terdengar juga suara mesin truk yang dipanasin dan beberapa orang membersihkan truk dengan menyiram air dari derigen yang dibeli dari penjual air keliling. Truk yang dipanasin sekitar 20-30 menit, mereka menunggu mesin panas dengan memesan kopi dan merokok sambil menonton siaran televisi yang dipajang di depan warung. Di pagi hari juga tersedia sarapan seperti gorengan tempe, bakwan, dan ketan putih. Menu itu akan habis menjelang siang. sudah pasti ketika mereka berkumpul topik penbicaraan mereka antara lain menanyakan temannya pergi narik kemana dan juga menanyakan beberapa agenda yang mereka jalani di hari tersebut dan tentunya menggunakan bahasa Indramayu. Sedangkan aktivitas di siang hari sedikit sepi karena kebanyakan mereka terutama pemilik truk pada narik ke tempat tujuan masing-masing. Tapi tetap ada pengunjung yang datang di siang hari biasanya dari warga sekitar yang sengaja nongkrong, tujuan utama warga setempat bukan untuk membeli akan tetapi untuk mengisi waktu luangnya dengan nongkrong di warung, setelah itu memesan kopi, merokok, menonton televisi, dan tentunya menjalin komunikasi dengan bahasa Indramayu.

Berikut hasil wawancara sambil lalu dengan Bapak Sarikin warga RT.003 ketika penulis bertanya terkait alasan siang-siang sudah di warung tersebut, beliau menjawab dari pada ning umah nganggur enakan dolan ning warung (dari pada di rumah menganggur mendingan main ke warung)”, Bapak Sarikin memang tidak bekerja lagi jadi kesehariannya dihabiskan untuk ke warung dan membersihkan Masjid Assalam. Hal serupa juga diungkapkan oleh Bapak Chamdani selaku Ketua RT.002 yang menjawab ning umah mah sepi, ning warung bisa ngobrol..ngobrole macem-macem kaya ngandani berita, lan wong kenene (di rumah sepi, di warung bisa mengobrol..mengobrolnya macam-macam seperti membahasa berita dan orang sininya)”, alasan tersebut jika dilihat tujuan utamanya bukan untuk membeli akan tetapi sengaja menghabiskan waktu luangnya di warung. Di waktu siang juga sering terjadi perbincangan dengan klien yang membutuhkan truk untuk mengangkut barang. Bisa di katakan juga kalau warung tersebut sebagai sekertariatnya.

Aktivitas di malam hari tentunya lebih ramai dikunjungi karena pemilik truk dan warga sekitar yang mulai berbaur di warung. Warung tersebut tidak akan ramai manakala jauh dari pangkalan truk, dan warga sekitar sengaja datang untuk menjalin interaksi dengan temannya di warung tersebut. Aktivitas malam mulai ramai menjelang sore hari, mereka datang untuk menghibur dirinya sendiri dan berinteraksi dengan temannya. Padahal mereka hanya duduk dan berbincang-bincang terkait hal-hal keseharian. Ketika mejelang sholat isya pengunjung mulai ramai seperti pemilik truk, supir dan kernet yang datang setelah bekerja, dan juga datang warga yang sengaja menunggu waktu isya. Aktivitas ini tentunya selalu diisi dengan komunikasi dua arah yang mayoritas lebih senang menggunakan bahasa Indramayu.

Pengunjung warung selain warga RT.003 dan RT.002 yang mayoritas berasal dari Jawa termasuk di dalamnya berasal dari Indramayu dan Cirebon, juga dapat dibuktikan dari truk dengan melihat plat kendaraan bermotor, ada 12 truk yang sering mangkal di dekat warung, lima antaranya adalah bernomor polisi E 2839 TA, E 8130 PE, E 8598 PI, E 2801 SM, dan E 8391 NR dan selebihnya bernomor polisi daerah DKI Jakarta. Nomor kendaraan berplat E meliputi daerah Cirebon dan Indramayu yang sengaja dibawa dari daerah untuk menjalankan bisnis sewa dan jasa angkut barang di Jakarta. Berikut adalah ungkapan dari Bapak Poniman termasuk salah satu supir truk.

ning kene sing plat E ana lima, terus sengaja digawa sing dermayu nganggo ngangkut barang lan kerja ning kene, sing duwe ne gah wong dermayu tapi wis tinggal ning kene

(disini yang berplat E ada lima, sengaja dibawa dari Indramayu untuk mengangkut barang dan bekerja disini, yang punya juga orang Indramayu yang sudah tinggal disini).

Dari beberapa penelusuran nomor kendaraan plat E lebih jarang terlihat dikarenakan truk ini sering pulang-pergi ke Indramayu. Walaupun yang sering mangkal adalah nomor kendaraan berplat B tapi bos tau pemiliknya juga berasal dari Indramayu, tempat tinggal mereka juga masih di sekitar pangkalan truk tersebut.

Kesimpulan

Warung merupakan media interaksi yang tepat untuk saling bertukar pikiran dan menghabiskan waktu luang. Interaksi yang terjalin di warung ini sering menggunakan bahasa Indramayu yang kalau ditelusuri alasan mengapa pengunjung lebih sering menggunakan bahasa Indramayu dikarenakan pertama pengunjung berasal dari pangkalan truk, dan pemilik truk, supir, dan kernet berasal dari Indramayu. Kedua, pemilik warung atau penjaga warung juga berasal dari Cirebon yang bahasanya sama dengan bahasa Indramayu. Ketiga, komunitas setempat yaitu warga RT.003 dan RT.002 mayoritas berasal dari Jawa, termasuk Indramayu dan Cirebon. Ketiga faktor tersebut berpusat pada warung baik berupa interaksi maupun aktivitas kesehariannya. Titik temu dari ketiga faktor tersebut menjadikan warung yang berada di dekat Jalan Assalam bernuansa Indramayu. Berdasarkan hasil pengamatan etnografi keterkaitan pangkalan truk, pemilik warung, dan warga setempat memaknai warung tersebut sebagai “Warung Wong Reang”.

SEUNTAI KISAH: PERISTIWA MALAM KEDATANGAN SI JAGO MERAH

Peritiwa yang memilukan terjadi pada minggu malam senen tanggal 7 Maret 2011 api yang menghanguskan rumah masyarakat Jalan Pemuda 1 RT.001 dan RT.002 RW.02 Kelurahan Rawamangun. Api diperkirakan membesar mulai pukul 22.00 wib bermula dari arus pendek listrik di rumah Bapak Saragih dengan sangat cepat menjalar ke samping rumah lainnya, perumahan RT.001 dan RT.002 mayoritas terbuat dari papan kayu sehingga mempercepat laju api yang mengamuk tersebut.

Masyarakat setempat sontak terkaget dengan kedatangan api yang membesar seolah melahap dengan laparnya rumah-rumah penduduk, teriakan “kebakaran kebakaran” mengundang dan membangunkan masyarakat di malam hari, sebagian lari untuk menyelamatkan barang-barang berharga, sebagian lagi lari untuk memadamkan api, sebagian lagi lari untuk melihat api.

Malam itu tidak seperti malam biasanya yang setiap malam sepi karena masyarakat telah tertidur, akan tetapi malam itu menjadi malam yang tidak pernah terlupakan. Disaat masyarakat beristirahat dengan santai, api justru meramaikan malam itu, menjadi malam yang ramai. Entah bagaimana dalam pikiran semua orang di malam itu ketika api sudah mulai tinggi dan membesar, orang dalam rumah panik berlari membawa barang-barangnya, seorang ibu lari membawa anak kecil yang tadinya tertidur, seorang ibu memapah wanita yang telah lanjut usia dengan jalan tergopoh-gopoh di tengah desakan warga yang berlari bolak-balik membawa barangnya masing-masing. Anak kecil pun bingung mereka dibawa kemana ketika orang tuanya menyelamatkan barang-barangnya. Pikiran pun jadi semakin tidak karuan manakala bunyi sirine pemadam kebakaran datang sekitar 40 menit tepatnya pukul 22.40 wib, ditambah lagi orang semakin berdesak-desakan di Jalan Assalam, jalan yang menuju Jalan Raya Pemuda 1, akses yang sangat baik untuk evakuasi, dan jalan baru arah Cempaka Putih–Pulogadung. Masyarakat mengevakuasi barang-barangnya di jalan-jalan raya yang dipastikan tidak terkena kobaran api.

Mata terpana melihat api merah, kulit pun terasa panas dan jantung berdetak tak karuan, saat si jago merah mendekati rumah. Bingung apa yang dilakukan melihat kepanikan orang, melihat api membumbung tinggi, melihat orang berlari, dan merasakan malam yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Bagaimana pun peristiwa ini mengundang bentuk solidaritas yang sangat kuat, ketika seseorang saudara yang rumahnya akan terbakar ikut membantu menyelamatkan barang-barang saudaranya, seorang dosen Universitas Negeri Jakarta dibantu oleh mahasiswanya yang kost dekat tempat kebakaran, dan juga mahasiswa dibantu mengevakuasi barangnya oleh temannya.

Melihat orang-orang yang lari menyelamatkan barang-barangnya, terdapat suatu ketidaksadaran dimana orang tidak bisa di kontrol, mereka tidak memikirkan rumah yang telah terbakar untuk segera dipadamkan akan tetapi memikirkan bagaimana barang-barang bisa diselamatkan, padahal dengan begitu banyak orang api bisa dipadamkan dengan cara manual, hal ini merupakan bentuk ketidaksadaran ketika menghadapi kepanikan.

Iringan tangis menjadi warna malam itu, gelap tanpa penerang cahaya listrik tapi terang oleh kobaran api. Masyarkat yang jauh hanya bisa menonton ketika api semakin menjalar ke rumah lainnya, suasana pun menjadi semakin ramai, selain sirine pemadam kebakaran, lampu rotator ikut mewarnai malam tragis itu.

Ketika selang pemadam kebakaran mulai masuk di perumahan hati dan pikiran mulai tenang, dengan bantuan masyarakat yang ikut mendistribusikan selang ke rumah-rumah, dan masyarakat mulai membantu memadamkan api dengan cara manual. Walaupun basah akibat selang air pemadam yang bocor dan semprotan air ke atas tidak menurunkan semangat memadamkan api agar tidak menjalar ke rumah lainnya. Dengan sistem estafet ember milik penduduk setempat direlakan untuk mengambil air yang tumpah dan tergenang di tanah, tidak terhitung berapa ember yang keluar dari rumah untuk menyiramkan ke rumah. Yang terpikirkan saat itu adalah bagaimana api tidak menjalar kerumah lainnya.

Ada beberapa orang yang mengintruksikan dari atas genteng rumahnya yang belum terbakar agar secepat mungkin menyiramkan air dibagian titik tertentu, sebagian ada yang menampung air dari kran rumahnya, dan sebagian lagi membantu memotong kayu yang mudah terbakar agar api tidak menjalar ke rumah-rumah yang dekat api. Malam itu berjalan cepat, api mulai padam pada pukul 02.00 wib. Sedikit bisa menghela nafas dan tenang ketika api mulai padam, akan tetapi turut perihatin kepada keluarga yang telah kehilangan rumahnya.

Melihat seseorang yang bajunya basah dan hitam kerena arang kayu yang terbakar, dan batuk karena asap kebakaran yang banyak, dan ada pula seseorang yang terluka tangannya akibat tersayat seng genteng, tertusuk paku, dan terjatuh karena memadamkan api.

Setelah kondisi dinyatakan aman, masyarakat yang mengevakuasi barang-barangnya yang jauh dari titik api, −kebanyakan dievakuasi di jalan-jalan− selain akses untuk mengamankannya mudah juga tempat yang sangat sulit dijangkau oleh api. Sebagian lagi banyak masyarakat yang menitipkan barangnya di tempat saudara-saudaranya. Apapun alat untuk mengamankan barang-barang, seperti pemulung yang mempunyai gerobak, menggunakannya sebagai sarana mengevakuasi barang dan dibawa ke jalan raya, ditempat kebakaran juga ada pangkalan truk yang disewakan sehari-harinya. Namun pada malam itu masyarakat menggunakan truk sebagai sarana menyelamatkan barang-barangnya. Terlihat banyak truk yang penuh dengan perabotan rumah tangga, baju, barang-barang elektronik, dan lainnya, truk tersebut ada di tengah jalan baru arah Cempaka Putih – Pulogadung.

Masyarakat mulai kembali menempati rumah-rumahnya yang nyaris terbakar, dengan membawa pulang kembali barang-barang yang mereka evakuasi. Bagi masyarakat yang masih memiliki tempat tinggal mereka bisa kembali menempatkan barang-barangnya, akan tetapi bagi masyarakat yang rumahnya telah tinggal dinding tembok, dengan cat terkupas dan hitam bekas terbakar, mereka hanya bisa menatap rumah mereka hangus terbakar.

Pilu dalam hati melihat tatapan kosong masyarakat Pemuda yang rumahnya terbakar, mentari mulai mengintip dari timur, banyak wisatawan bencana datang melihat peristiwa semalam. Masyarakat melihat-lihat puing-puing dan korban kebakaran yang memilah barang-barang yang hangus terbakar, mereka pikir bisa menemukan barang yang tersisa. Lebih memilukan lagi, liburan bagi anak sekolah yang buku dan seragam merak terbakar. Mereka sementara belajar dirumah tapi belajar tahan menghadapi cobaan.

Bentuk solidaritas untuk Korban Kebakaran Pemuda 1 tidak cukup hanya dalam bentuk material belaka. Segenap civitas akademika Universitas Negeri Jakarta (UNJ) turut berempati dengan membuka Posko di lahan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Pemuda. Dalam kegiatanya mereka mengatasnamakan UNJ RESCUE, selama membuka posko dari tanggal 8-12 Maret 2011 bekerja sama dengan PMI Kota Jakarta Timur dan beberapa mahasiswa UNJ lainnya, antara lain kegiatannya berupa pengumpulan dana, bantuan berupa pakaian layak pakai, peralatan mandi, peralatan kebersihan, Dapur Umum khusus balita, trauma healing, dan bantuan berupa tenaga seperti kerja bakti membersihkan puing-puing. Posko UNJ RESCUE merupakan salah satu wujud dari Tri Dharma Perguruan Tinggi yaitu pengabdian kepada masyarakat.

Statistik Pengunjung

Socio Education

Merupakan Weblog tentang seputar materi ilmu sosial sebagai penunjang dan pelengkap edukasi.

  © Design Blog 'Ultimatum' by Socio Education 2020

Back to TOP